Tafsir An Nisa Ayat 104-112

By | Januari 18, 2013

Ayat 104: Perintah Allah kepada kaum mukmin agar tidak lemah dalam berjihad melawan orang-orang kafir, dan perintah bersikap hati-hati dan waspada

وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (١٠٤

Terjemah Surat An Nisa Ayat 104

104.[1] Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula)[2], sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu mengharap dari Allah[3] apa yang tidak mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Ayat 105: Prinsip-prinsip tentang keadilan dan menegakkan kebenaran dalam hukum dan peradilan, serta keharusan tidak memihak dalam menetapkan sesuatu hukum

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (١٠٥

Terjemah Surat An Nisa Ayat 105

105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan membawa kebenaran[4], agar kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu[5], dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang khianat,[6]

Ayat 106-109: Gambaran tentang keadaan kaum munafik dan peringatan kepada kaum mukmin agar tidak berakhlak dengan akhlak mereka

وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (١٠٦) وَلا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (١٠٧) يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لا يَرْضَى مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا (١٠٨) هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلا   (١٠٩)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 106-109

106. Dan mohonlah ampun kepada Allah[7]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun[8] lagi Maha Penyayang.

107. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya[9]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa,

108. Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya[10]. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan[11].

109. Itulah kamu! Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat?[12] Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?[13]

Ayat 110-112: Ajakan untuk bertobat dan beristighfar

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا (١١٠) وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١١) وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (١١٢

Terjemah Surat An Nisa Ayat 110-113

110. Dan barang siapa yang berbuat kejahatan[14] atau menganiaya dirinya[15], kemudian dia memohon ampunan kepada Allah[16], niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

111. Barang siapa yang mengerjakan dosa[17], maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesusahan) dirinya sendiri[18]. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[19].

112. Dan barang siapa berbuat kesalahan[20] atau dosa[21], kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata[22].


[1] Ayat ini turun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa orang untuk mengejar Abu Sufyan dan kawan-kawannya saat mereka pulang dari perang Uhud, lalu mereka mengeluhkan luka-luka mereka.

[2] Namun meskipun mereka mendapat luka, mereka tidak takut dan mundur memerangi kamu. Di samping itu, bersikap lemah jika seperti ini keadaannya, yakni sama-sama mendapatkan luka tidaklah wajar. Yang wajar adalah jika luka dan kekalahan senantiasa menimpa kamu. Sedangkan keadaanya tidak demikian, kadang kamu menang dan kadang mereka menang. Lebih dari itu, kamu memiliki kelebihan yang menghendaki untuk tidak bersikap lemah, yaitu kamu mengharap dari Allah apa yang mereka tidak harapkan.

[3] Yaitu kemenangan dan pahala. Bahkan di antara orang-orang mukmin ada yang memiliki harapan yang tinggi, ingin membela agama Allah, menegakkan syari’at-Nya, memperluas wilayah Islam, menunjuki orang-orang yang tersesat dan menghancurkan musuh-musuh agama -Kita berharap kepada Allah, semoga Dia menggolongkan kita ke dalam golongan mukmin seperti itu, Allahumma amin-, semua ini menghendaki untuk bertambahnya kekuatan seorang mukmin, membuatnya semangat dan menjadikannya berani. Hal itu, karena orang yang berperang hanya bertujuan untuk meraih kesenangan dunia saja tidak seperti orang yang berperang untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat serta memperoleh keridhaan Allah dan surga-Nya.

[4] Yakni ketika diturunkan, Al Qur’an terpelihara dari para setan yang hendak menyelipkan kebatilan, bahkan mereka tidak dapat mendekatinya. Al Qur’an turun dengan kebenaran, mengandung kebenaran, beritanya benar, perintah dan larangannya pun adil.

[5] Tidak dengan hawa nafsumu. Oleh karena itu, Al Qur’an merupakan penyelesai masalah di tengah-tengah manusia, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum, masalah darah, kehormatan, harta dan hak-hak lainnya.

[6] Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hakim harus berilmu dan adil. Dalil berilmu berdasarkan firman Allah, “dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan dalil adil berdasarkan firman Allah, “dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang khianat“, yakni janganlah kamu membela orang yang kamu ketahui khianatnya, orang yang mendakwakan sesuatu padahal bukan miliknya, orang yang mengingkari hak yang ditanggungnya, baik kamu mengetahuinya maupun berdasarkan perkiraanmu. Dalam ayat ini terdapat dalil haramnya membela kebatilan dan menjadi pengacara untuk orang yang batil. Dalam ayat tersebut juga terdapat dalil bolehnya menjadi pengacara bagi orang yang tidak diketahui berbuat zalim.

[7] Terhadap kesalahan yang telah kamu lakukan, jika ada.

[8] Bagi orang yang meminta ampun kepada-Nya, bertobat dan kembali kepada-Nya, dan Dia akan memberinya taufiq untuk beramal shalih setelahnya.

[9] Dengan maksiat. Dalam ayat ini terdapat larangan berdebat untuk membela orang yang bersalah, atau orang yang terkena hukuman baik hukuman had maupun ta’zir.

[10] Hal ini muncul karena kelemahan iman dan kurangnya keyakinan, sehingga rasa takut kepada manusia lebih besar daripada rasa takut kepada Allah, oleh karenanya mereka berusaha mencari cara, baik yang mubah atau yang haram agar tidak terbuka aibnya di tengah-tengah manusia, mereka tidak peduli bahwa Allah melihat dan menyaksikan mereka. Padahal Dia bersama mereka dengan ilmu-Nya, di mana Dia mengetahui seluk-beluk mereka, khususnya ketika mereka merencanakan makar jahat, yaitu rencana membersihkan orang yang bersalah dan melemparkan kesalahan kepada orang yang tidak bersalah serta berusaha agar Beliau melakukan apa yang mereka rencanakan.

[11] Ilmu-Nya meliputi apa yang mereka kerjakan, namun demikian Dia tidak segera menghukum mereka, bahkan menundanya dan menawarkan tobat kepada mereka serta memperingatkan mereka untuk berhenti dari dosa, karena hal itu menyebabkan mereka mendapat hukuman yang berat.

[12] Siapakah yang berani menentang Allah ketika hujjah telah mengenai mereka? Siapakah yang berani menentang Allah; Tuhan yang mengetahui segala yang rahasia dan yang tersembunyi? Siapakah yang berani menentang Allah; Tuhan yang mengadakan saksi kuat yang tidak mungkin diingkari; lisan, tangan dan kaki dijadikan saksi?

[13] Dalam ayat ini terdapat bimbingan agar seseorang membandingkan antara kepentingan dunia yang didapatkan dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan dengan hilangnya pahala di akhirat yang dan hukuman yang akan diperoleh. Oleh karena itu, ketika dirinya diperintahkan oleh hawa nafsunya meninggalkan perintah Allah, ia berkata kepada dirinya, “Mengapa anda meninggalkan perintah-Nya, padahal apa manfaat yang kamu dapatkan dari meninggalkan perintah?” Betapa banyak pahala di akhirat yang luput bagi anda?” Bahkan karena meninggalkan perintah itu, anda mendapatkan kesengsaraan, kerugian dan kekecewaan?” Demikian juga apabila dirinya diajak kepada kesenangan-kesenangan yang haram, dia berkata kepada dirinya, “Ya, anda memang mengerjakan perbuatan yang anda sukai, namun kesenangannya hanya sementara, dan setelahnya kesedihan, penderitaan dan penyesalan, tidak mendapatkan pahala dan malah mendapatkan siksa“. Cukuplah sebagian dari akibat itu membuat orang yang berakal berhenti dari mengerjakannya. Memikirkan hal ini termasuk sesuatu yang paling bermanfaat bagi seorang hamba, dan seperti inilah orang yang berakal secara hakiki, berbeda dengan orang yang mengaku berakal, namun tidak seperti itu, sehingga ia mendahulukan kesenangan sementara daripada kesenangan yang kekal.

[14] Kepada orang lain, baik terkait dengan darah, harta atau kehormatan mereka.

[15] Dengan berbuat maksiat antara dirinya dengan Allah.

[16] Yakni beristighfar secara sempurna dengan mengakui dosa dan menyesalinya, berhenti dari melakukannya dan berniat keras untuk tidak mengulanginya, maka Allah berjanji –sebagaimana dalam ayat di atas- akan mengampuni dan merahmati. Dia akan mengampuni dosa yang dilakukannya, menghilangkan cacat dan kekurangan yang diakibatkan dari maksiat itu, mengembalikan amal shalihnya dan memberinya taufiq di masa mendatang, dan dosanya tidak dijadikan-Nya sebagai penghalang taufiq-Nya.

[17] Mencakup dosa kecil maupun dosa besar.

[18] Hukumannya baik hukuman dunia maupun akhirat ditanggung oleh dirinya, tidak ditanggung oleh yang lain sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,” (Terj. An Najm: 38). Akan tetapi, jika kemaksiatan nampak dan tidak diingkari, maka hukuman dan dosanya bisa menimpa secara merata, dan yang demikian masih termasuk ke dalam surat An Najm ayat 38 tersebut, karena orang yang tidak mengingkari hal yang wajib diingkari padahal dirinya mampu, maka sama saja ia telah mengerjakan kesalahan. Dalam ayat di atas terdapat bukti keadilan Allah dan kebijaksanaan-Nya, di mana Dia tidak menghukum orang lain karena kesalahan yang dilakukan oleh seseorang dan tidak menghukum lebih dari dosa yang dilakukan.

[19] Yakni Maha sempurna ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Di antara ilmu-Nya dan kebijaksanaan-Nya adalah Dia mengetahui dosa dan apa saja yang timbul daripadanya, sebab yang mendorong untuk melakukannya, hukuman dari perbuatan yang dilakukan. Dia juga mengetahui keadaan orang yang berdosa, jika seseorang melakukannya karena hawa nafsu dalam hatinya yang memerintahkan kepada keburukan, namun ia senantiasa kembali kepada Tuhannya di setiap waktunya, maka Dia akan mengampuni dan memberinya taufiq untuk bertobat. Sebaliknya, jika kemaksiatan dilakukan karena meremehkan perhatian Allah kepadanya dan meremehkan siksa-Nya, maka orang seperti ini nampaknya jauh dari ampunan dan taufiq-Nya untuk bertobat.

[20] Dosa kecil.

[21] Dosa besar.

[22] Ayat ini menunjukkan bahwa yang demikian termasuk dosa besar dan hal yang membinasakan seseorang, karena dia sama saja telah melakukan banyak kerusakan, di antaranya yaitu: telah mengerjakan dosa atau kesalahan, menuduhkan kesalahan kepada orang yang tidak berdosa, berbuat dusta dengan menyatakan dirinya bersih dan menuduh orang yang tidak berdosa, mengakibatkan adanya hukuman duniawi yang tidak benar, orang yang salah tidak terkena, bahkan orang yang tidak bersalah malah diberi hukuman. Demikian juga, orang yang tidak bersalah menjadi bahan pembicaraan orang lain dan mafsadat lainnya. Kita meminta kepada Allah agar dilindungi daripadanya dan dari setiap keburukan, Allahumma aamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *