Tafsir An Nisa Ayat 128-134

By | Januari 18, 2013

Ayat 128-130: Cara mengatasi masalah rumah tangga, mengadakan islah antara suami dan istri, serta pentingnya bersikap adil dalam poligami

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا       (١٢٨) وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (١٢٩) وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا (١٣٠

Terjemah Surat An Nisa Ayat 128-130

128.[1] Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz[2] atau bersikap tidak acuh[3], maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya[4], dan perdamaian itu lebih baik[5] (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[6]. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu)[7] dan memelihara dirimu (dari nusyuz, sikap tidak acuh dan bertindak tidak adil)[8], maka sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan[9].

 

129. Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu)[10], walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)[11], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung[12]. Dan jika kamu mengadakan perbaikan[13] dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun[14] lagi Maha Penyayang.

130. Jika keduanya bercerai[15], maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya[16]. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana[17].

Ayat 131-134: Wasiat Allah kepada generasi terdahulu dan yang kemudian untuk bertakwa kepada-Nya, yaitu dengan beribadah kepada-Nya saja

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا (١٣١)وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا       (١٣٢) إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ قَدِيرًا (١٣٣) مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (١٣٤

Terjemah Surat An Nisa Ayat 131-134

131.[18] Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar[19] maka (ketahuilah), milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi[20] dan Allah Maha Kaya[21] lagi Maha Terpuji[22].

132. Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi[23]. Cukuplah Allah sebagai Pemeliharanya[24].

133. Jika Allah menghendaki, niscaya dimusnahkan-Nya kamu semua wahai manusia! Kemudian Dia datangkan umat yang lain[25]. Allah Maha Kuasa berbuat demikian.

134. Barang siapa yang menghendaki balasan di dunia[26] maka ketahuilah bahwa di sisi Allah ada balasan di dunia dan di akhirat[27]. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.


[1] Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang ayat, “Wa inimra’atun khaafat min ba’lihaa nusyuuzan aw i’raadhan.” Ia berkata, “Ada seorang suami yang di dekatnya ada seorang istri, di mana ia tidak mau banyak-banyak dengannya (yakni dalam hal cinta dan bergaul), si suami ingin mencerainya, lalu istrinya berkata, “Aku jadikan bagianku halal (untuk yang lain namun aku tidak ditalak),” Maka turunlah ayat tersebut.

Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Thayalisi, dan Hakim ia menshahihkannya, dan didiamkan oleh Adz Dzahabi, serta Ibnu Jarir meriwayatkan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Saudah. Dalam lafaz Abu Dawud, Aisyah berkata kepada Urwah, “Wahai putera saudariku! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami di atas yang lain dalam hal penggiliran, yakni tinggalnya di rumah kami. Beliau biasa mendatangi kami semua, Beliau mendekati setiap istrinya tanpa menggauli sampai tiba di tempat yang di sana adalah bagiannya lalu ia bermalam di situ. Saudah binti Zam’ah ketika tua dan khawatir akan dicerai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Rasulullah, bagianku untuk Aisyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya. Aisyah berkata, “Tentang hal itu dan yang semisalnya saya kira turun ayat, “Wa inim ra’atun khaafat mim ba’lihaa nusyuuzan.”

Imam Hakim meriwayatkan –dan dia berkata, “Shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim- dan didiamkan oleh Adz Dzahabi- dari Raafi’ bin Khudaij bahwa ia memiliki istri yang usianya sudah lanjut, kemudian ia menikah lagi dengan gadis. Ia lebih mengutamakan gadis tersebut, maka istri yang pertama menolak mengakui hal tersebut, Rafi’ bin Khudaij pun mentalaknya sekali talak, sehingga ketika masih ada waktu rujuknya, Raafi’ berkata, “Jika kamu mau, saya akan merujuk kamu, namun kamu harus siap bersabar dengan keadaan. Dan ika kamu mau, maka saya akan membiarkan (tidak merujuk) kamu sampai waktunya habis.” Istrinya berkata, “Rujuk saja saya, saya siap bersabar terhadap sikap mengutamakan yang lain tersebut.” Lalu Raafi’ tetap mengutamakan gadis tersebut, sedangkan istri yang pertama ternyata tidak sabar, maka Raafi’ mentalak lagi dan tetap mengutamakan gadis tersebut. Raafi’ berkata, “Itulah shulh (pendamaian), di mana telah sampai kepada kami, bahwa Allah menurunkan ayat tentangnya, “Wa inim ra’atun khaafat….dst.“(Yang rajih hadits ini adalah mursal, Sufyan bin ‘Uyainah dan Syu’aib bin Abi Hamzah meriwayatkan secara mursal, dan dimaushulkan oleh Ma’mar sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Ktasir, namun yang rajih adalah mursal, terlebih rawi yang memaushulkan yakni Hakim banyak wahm (perkiraan yang keliru)).

[2] Nusyuz adalah meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Sedangkan nusyuz dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya, tidak mau memberikan haknya, seperti tidak memberinya nafkah dan lebih cenderung kepada istri yang lebih cantik daripadanya.

[3] Berpaling dan tidak menyukainya.

[4] Seperti isteri bersedia dikurangi beberapa haknya (misalnya dalam giliran dan nafkah) diberikan kepada istri yang lain, asalkan suaminya mau baik kembali. Namun jika istri tidak ridha dikurangi haknya, maka suami berkewajiban memenuhi haknya atau mencerainya.

[5] Yakni lebih baik daripada bercerai, bersikap nusyuz dan berpaling. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa shulh (perdamaian dengan merelakan sebagian haknya) antara dua orang atau lebih yang memiliki hak lebih baik daripada menggali lebih dalam untuk mengetahui haknya, karena di dalamnya terdapat islah, hubungannya tetap baik dan merupakan sifat samahah (merelakan) yang memang terpuji. Hal ini dibolehkan dalam segala perkara, kecuali apabila menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka ketika itu bukanlah shulh, bahkan kezaliman. Perlu diketahui, bahwa setiap hukum tidaklah sempurna kecuali jika ada yang menghendakinya dan tidak ada penghalang, termasuk di antaranya adalah masalah di atas (shulh). Dalam ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan hal yang menghendaki shulh dan memberitahukan bahwa yang demikian adalah lebih baik. Sedangkan penghalangnya adalah kikir “walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir“, oleh karena itu sepatutnya melepaskan diri dari jeratan akhlak yang rendah ini dan menggantinya dengan samahah (merelakan), yakni memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada kita dan ridha dengan sebagian hak yang kita dapatkan. Jika seseorang diberi taufiq kepada akhlak yang mulia ini, maka akan mudah mengadakan shulh, berbeda dengan orang yang tidak berusaha menyingkirkan sifat kikir ini, maka berat sekali bersikap shulh, karena ia tidak ridah kecuali dengan semua hartanya dan tidak suka memenuhi kewajibannya, jika lawan tengkarnya sama seperti ini keadaannya, maka masalahnya pasti semakin parah.

[6] Maksudnya tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, meskipun demikian jika isteri melepaskan sebagian hak-haknya, maka boleh bagi suami menerimanya.

[7] Ada yang mengartikan, “jika kamu berbuat ihsan”, yakni mencakup berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah, dengan beribadah seakan-akan dirinya melihat Allah, dan jika tidak bisa begitu maka dengan merasakan perhatian Allah kepadanya, serta berbuat ihsan kepada makhluk Allah dengan apa pun bentuknya, baik memberi manfaat harta, ilmu, kedudukan maupun lainnya.

[8] Ada yang mengartikan, “jika kamu bertakwa kepada Allah”, yakni dengan mengerjakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Ada pula yang mengartikan ayat “wa in tuhsinuu wa tattaquu” dengan “dan jika kamu berbuat ihsan, yaitu dengan mengerjakan perintah, dan bertakwa, yakni dengan meninggalkan larangan.

[9] Oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan terhadapnya.

[10] Dalam hal cinta, karena yang demikian tidak sanggup dilakukan oleh seseorang. Yang dilarang berlaku tidak adil adalah dalam hal yang disanggupi seseorang, seperti dalam hal nafkah dan giliran.

[11] Sehingga memberikan giliran dan nafkah yang lebih daripada istri yang lain.

[12] Bukan sebagai janda, namun seperti wanita yang tidak bersuami.

[13] Dengan bersikap adil dalam giliran dan nafkah.

[14] Terhadap apa yang disembunyikan dalam hatimu berupa rasa cinta kepada yang satu melebihi daripada yang lain.

[15] Karena sulit bersatu, baik dengan adanya talak (penceraian dari pihak suami), faskh (pembatalan pernikahan), khulu’ (permintaan cerai dari pihak istri) dsb. Cerai merupakan solusi terakhir.

[16] Dengan memberikan pasangan lain yang lebih cocok.

[17] Dia memberikan karunia dengan hikmah (bijaksana) dan menahan dengan hikmah. Jika hikmah menghendaki untuk menahan ihsannya kepada sebagian hamba-Nya karena suatu sebab yang menghendaki hamba tersebut tidak diberikan karunia-Nya, maka Dia menahan karunia itu karena keadilan dan hikmah-Nya.

[18] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitakan tentang meratanya kepemilikan-Nya pada alam semesta, di mana hal itu menghendaki Dia mengatur semuanya dengan semua bentuk pengaturan dan bertindak kepadanya dengan berbagai bentuk tindakan, baik berupa qadar (ketetapan-Nya di alam semesta) maupun yang berupa penetapan syari’at dan menyuruh mereka mengikuti syari’at itu dengan bertakwa.

[19] Kepada wasiat itu dengan tidak mau bertakwa.

[20] Maksudnya ciptaan-Nya, milik-Nya dan hamba-Nya segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, oleh karena itu kekafiran kalian tidaklah memadharratkan-Nya sedikit pun, bahkan malah memadharratkan diri kamu. Demikian juga kekafiran itu tidaklah mengurangi kerajaan-Nya, bahkan Dia memiliki hamba yang lebih baik dan lebih banyak dari kamu, di mana mereka selalu taat dan tunduk kepada-Nya.

[21] Tidak butuh kepada makhluk-Nya dan kepada ibadah mereka, bahkan merekalah yang butuh kepada-Nya.

[22] Dalam tindakan-Nya kepada makhluk-Nya. Dia berhak mendapatkan segala pujian dan sanjungan, karena Dia memiliki sifat-sifat terpuji dan karena nikmat-Nya yang begitu banyak yang diberikan kepada makhluk-Nya, oleh karenanya Dia Maha Terpuji dalam semua keadaan.

[23] Diulangi kata-kata ini untuk memperkuat keharusan bertakwa.

[24] Ada yang mengartikan “wakiilaa” di atas dengan “sebagai saksi bahwa apa yang ada di langit dan di bumi milik-Nya”.

[25] Sebagai penggantimu yang lebih taat kepada Allah dan lebih baik dari kamu. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap manusia karena kekafiran mereka dan berpalingnya mereka dari Tuhan mereka.

[26] Terhadap amalnya.

[27] Bagi orang yang menginginkannya, dan tidak ada yang memiliki balasan itu selain-Nya. Oleh karena itu, mengapa kamu lebih memilih yang rendah (hanya balasan di dunia), padahal tidak ada yang diperolehnya dari balasan dunia selain yang ditaqdirkan buatnya, dan mengapa kamu tidak meminta yang lebih tinggi dari itu, yaitu balasan di dunia dan di akhirat dengan cara berbuat ikhlas kepada-Nya dan menaati-Nya. Sesungguhnya orang yang mengejar dunia, seperti orang yang menanam rumput, oleh karena itu tidak akan tumbuh padi. Sebaliknya, orang yang mengejar akhirat seperti orang yang menanam padi, yakni akan tumbuh pula rumput, dan dia akan mendapatkan dunia dan akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *