Tafsir An Nisa Ayat 113-121

By | Januari 18, 2013

Ayat 113: Karunia Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Rasul-Nya berupa kema’shuman (terjaganya) Beliau dari kesalahan

وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (١١٣

Terjemah Surat An Nisa Ayat 113

113.[1] Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Muhammad)[2], tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu[3]. Tetapi mereka hanya menyesatkan dirinya sendiri[4], dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab (Al Qur’an) dan Hikmah[5] kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui[6]. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.

Ayat 114-115: Menerangkan tentang berbisik yang utama dan bermanfaat, dan hukuman bagi orang yang menyelisih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤) وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥

Terjemah Surat An Nisa Ayat 114-115

114. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia mereka[7], kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah[8], atau berbuat kebaikan[9], atau mengadakan perdamaian di antara manusia[10]. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah[11], maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.

115. Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin[12], Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu[13] dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali[14].

Ayat 116-117: Menerangkan kafirnya orang musyrik dan murtad serta hukuman bagi mereka, dan menerangkan bahwa dosa-dosa di bawah syirk dapat diampuni

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (١١٦) إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلا شَيْطَانًا مَرِيدًا (١١٧

Terjemah Surat An Nisa Ayat 116-117

116. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirk (mempersekutukan Allah dengan sesuatu)[15], dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki[16]. Barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh dia telah tersesat jauh sekali.

117. Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala[17], dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka,

Ayat 118-121: Di antara anggapan kaum Jahiliyyah sebelum Islam, angan-angan yang ditimbulkan oleh setan kepada kaum jahiliyah, serta hukuman bagi mereka

لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لأتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (١١٨)وَلأضِلَّنَّهُمْ وَلأمَنِّيَنَّهُمْ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (١١٩) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا (١٢٠) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا (١٢١

Terjemah Surat An Nisa Ayat 118-121

118. Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan, “Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu[18],

119. dan pasti akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka[19], dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, lalu mereka benar-benar memotongnya[20], dan akan kusuruh mereka mengubah ciptaan Allah[21], (lalu mereka benar-benar mengubahnya)[22]“. Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh dia menderita kerugian yang nyata.

120. (Setan itu) memberikan janji-janji kepada mereka[23] dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka[24], padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka[25].

121. Mereka (yang tertipu) itu[26] tempatnya di neraka Jahanam dan mereka tidak akan mendapat (tempat lain) untuk lari darinya.


[1] Para mufassir banyak yang menyebutkan –namun kami tidak mengetahui apakah kisah ini shahih atau tidak-, bahwa sebab turun ayat di atas adalah karena salah satu keluarga yang tinggal di Madinah melakukan pencurian. Saat pencurian yang dilakukan itu diketahui, maka karena mereka takut aibnya terbuka, mereka pun menjaga pencurinya dan menuduhkan tindak pencurian itu kepada sebuah keluarga yang tidak bersalah. Pencuri tersebut meminta bantuan kepada kaumnya agar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; meminta Beliau agar membebaskan dirinya dari kesalahan di hadapan manusia. Kaumnya mengatakan, “Ia tidaklah mencuri, yang mencuri adalah orang yang di rumahnya terdapat barang curian tersebut”. Hampir saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan orang yang bersalah tersebut, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala pun menurunkan ayat ini untuk mengingatkan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak membela orang-orang yang berkhianat. Hal itu, karena membela orang yang batil adalah sebuah kesesatan.

Perlu diketahui, bahwa kesesatan terbagi menjadi dua: kesesatan dalam ilmu dan kesesatan dalam amal. Kesesatan dalam ilmu berupa ketidaktahuan teradap kebenaran, sedangkan kesesatan dalam amal berupa mengamalkan hal yang tidak benar. Allah menjaga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kedua kesesatan tersebut sebagaimana dalam ayat di atas.

[2] Berupa penjagaan-Nya dari kesesatan.

[3] Yakni memalingkan kamu dari memutuskan secara adil.

[4] Karena akibat dari usaha mereka untuk menyesatkan kembalinya kepada diri mereka sendiri. Demikian juga karena tidak ada yang mereka dapatkan selain kekecewaan, tidak tercapai tujuan, mendapatkan dosa dan kerugian.

[5] Hikmah di sini adalah As Sunnah. Ada pula yang mengatakan bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia syari’at di samping mengetahui hukum-hukum serta menempatkan sesuatu pada tempatnya.

[6] Tentang hukum dan perkara ghaib. Termasuk ke dalamnya juga semua yang diajarkan Allah kepadanya, karena Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disifatkan Allah sebelum diangkat menjadi nabi, “Sebelumnya kamu tidak mengetahui apa kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apa iman itu…dst.” (Terj. Asy Syuuraa: 52). Setelah itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala senantiasa memberi wayu, mengajarkannya dan menyempurnakannya sehingga Beliau mencapai pada derajat yang sulit dicapai oleh orang-orang yang hidup di zaman dahulu maupun yang datang kemudian, Beliau pun menjadi manusia paling berilmu dan paling sempurna.

Hal ini, yakni diturunkan Al Qur’an, hikmah dan diajarkan ilmu merupakan nikmat besar bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah nikmat taufiq untuk mengerjakan kewajiban dan terpeliharanya dari setiap perkara yang haram.

[7] Yakni tidak ada faedahnya, seperti yang terjadi dalam pembicaraan secara berlebihan, bahkan bisa berupa keburukan atau madharrat semata, sebagaimana dalam pembicaraan haram dengan segala macamnya.

[8] Baik sedekah harta, sedekah ilmu maupun menyedekahkan sesuatu yang bermanfaat lainnya, bahkan bisa termasuk pula ibadah yang manfaatnya bagi diri sendiri, seperti tasbih, tahmid dsb. hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

« أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ » .

“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kamu sesuatu yang bisa kamu sedekahkan. Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amr ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah dan jima’ yang dilakukan salah seorang di antara kamu adalah sedekah.”(HR. Muslim)

[9] Yakni berbuat ihsan dan ketaatan. Demikian pula segala sesuatu yang dipandang baik oleh syara’ dan akal, inilah yang disebut sebagai ma’ruf. Memerintahkan yang ma’ruf, jika disebutkan secara terpisah tanpa disebutkan nahi munkar, maka termasuk pula ke dalamnya nahi munkar, hal itu karena meninggalkan yang munkar termasuk perkara ma’ruf, di samping itu mengerjakan kebaikan tidaklah sempurna kecuali dengan meninggalkan yang munkar atau keburukan. Adapun ketika disebutkan secara bersamaan, maka amar ma’ruf adalah mengerjakan perkara yang diperintahkan, sedangkan nahi munkar adalah meninggalkan yang dilarang.

[10] Mengadakan perdamaian biasanya tidak dilakukan kecuali antara dua pihak yang bersengketa dan bermusuhan, di mana hal itu jika dibiarkan akan menimbulkan keburukan dan perpecahan yang besar. Oleh karena itu, syari’ mendorong untuk mendamaikan antara manusia, baik dalam hal darah, harta maupun kehormatan, bahkan dalam menjalankan agama sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Terj. Ali Imran: 103)

Tentang keutamaan mendamaikan dua pihak yang bertengkar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَ الصَّلاَةِ وَ الصَّدَقَةِ  ؟  إِصْلَاحُ ذَاتَ الْبَيْنِ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتَ الْبَيْنِ هِيَ الْحَالِقَةُ  . 

“Maukah kamu aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat dan sedekah (sunat)? Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar, karena sesungguhnya merusak dua pihak yang bertengkar merupakan pengikis (agama).” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Darda’, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 2595)

Namun demikian, sempurnanya pahala yang didapatkan tergantung niat dan keikhlasan sebagaimana diterangkan dalam ayat di atas. Oleh karena itu, sepatutnya seorang hamba mengikhlaskan hatinya karena Allah Ta’ala, mengikhlaskan amalnya di setiap waktu agar memperoleh pahala yang besar dan terbiasa berbuat ikhlas sehingga termasuk orang-orang yang ikhlas, pahala yang diperolehnya akan menjadi sempurna, bahkan kalau pun tujuannya tidak tercapai, ia tetap mendapatkan pahala.

[11] Bukan karena kepentingan dunia atau lainnya.

[12] Yakni jalannya para sahabat dalam beragama baik dalam ‘aqidah, manhaj maupun amal. Berdasarkan ayat ini, ijma’ umat ini (ulamanya) adalah hujjah dan terpelihara dari kesalahan.

[13] Allah membiarkan mereka bergelimang dalam kesesatan. Hal itu, karena dia setelah mengetahui kebenaran, namun malah meninggalkannya, oleh karena itu Allah membalasnya dengan adil, yaitu dengan membiarkannya di atas kesesatan dan kebingungan, dan kesesatannya akan semakin bertambah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka…dst.” (Terj. Ash Shaff: 5) dan firman Allah, “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.”(Terj. Al An’aam: 110)

Mafhum ayat di atas adalah bahwa barang siapa yang mengikuti Rasul dan jalannya kaum mukmin, di mana yang terdepannya adalah para sahabat, niatnya juga mencari ridha Allah, mengikuti rasul-Nya dan menetapi jama’ah kaum muslimin, namun di tengah perjalanannya muncul kesalahan atau keinginan untuk melakukannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak membiarkannya dan tidak menjadikan setan menguasai dirinya, bahkan dengan kelembutan-Nya Dia akan menarik orang itu, menjaganya dan memelihara dari keburukan, sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang Nabi-Nya Yusuf ‘alaihis salam, “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Terj. Yusuf: 24), yakni dengan sebab keikhlasannya, Allah memalingkan keburukan dari Beliau, demikian juga Allah memalingkan keburukan dari orang-orang yang ikhlas lainnya.

[14] Ancaman akibat menyelisihi rasul dan jalannya kaum mukmin ada beberapa tingkatan yang hanya diketahui tingkatan-tingakatan tersebut oleh Allah, tergantung keadaan dosa; besar atau kecil. Di antara dosa itu ada yang mengekalkan di neraka, yaitu syirk dan ada pula yang tidak. Nampaknya ayat selanjutnya merupakan perincian kemutlakan ini.

[15] Dosa syirk tidak diampuni Allah karena di dalamnya mengandung pencacatan Rabul ‘alamin dan keesaan-Nya, demikian juga karena di dalam menyamakan antara makhluk yang tidak berkuasa memberi manfaat dan madharrat dengan Al Khaliq yang berkuasa memberi manfaat dan madharrat, di mana tidak ada satu pun nikmat kecuali dari-Nya dan tidak ada yang dapat menolak bahaya selain Dia. Dia memiliki kesempurnaan secara mutlak dari berbagai segi dan Maha Kaya dari segala sisi. Oleh karena itu, kezaliman yang paling besar dan kesesatan yang paling jauh adalah mengalihkan ibadah kepada makhluk yang memiliki kelemahan dan kekurangan.

[16] Dosa-dosa di bawah syirk tahta masyii’atillah (di bawah kehendak Allah); jika Allah menghendaki, maka Dia mengampuninya dengan rahmat dan kebijaksanaan-Nya, dan jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengazabnya dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya.

[17] Asal arti Inaatsan dalam ayat di atas adalah perempuan-perempuan. Patung-patung berhala yang disembah oleh orang-orang Arab Jahiliyah itu biasanya diberi nama dengan nama-nama perempuan seperti Laata, Uzza dan Manah. Sudah menjadi maklum, bahwa nama menunjukkan orang yang dinamai. Jika namanya adalah nama-nama perempuan yang memang memiliki kekurangan, maka yang demikian menunjukkan kelemahan berhala-berhala itu. Hal ini sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah menerangan di beberapa tempat dalam Al Qur’an tentang kelemahan berhala, yakni bahwa berhala-berhala itu tidak dapat menciptakan, memberi rezki, menolak musibah yang menimpa penyembahnya, bahkan berhala itu tidak dapat menolak bahaya yang datang menimpa dirinya. Berhala juga tidak mempunyai pendengaran, penglihatan dan hati. Jika demikian, mengapa makhluk yang begitu lemah ini disembah, sedangkan Allah yang memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi malah tidak disembah; padahal Dia Tuhan yang berhak mendapat pujian, Tuhan yang memiliki kesempurnaan, kemuliaan, keagungan, keperkasaan, keindahan, kasih sayang, kebaikan, ihsan, sendiri dalam mencipta dan mengatur serta memiliki hikmah yang besar dalam syari’at dan qadar-Nya. Di samping itu, ibadah yang mereka arahkan kepada berhala, pada hakikatnya adalah menyembah setan; makhluk yang menjadi musuh mereka, makhluk yang menginginkan mereka binasa, dan berusaha mencari jalan untuk itu.

[18] Pada setiap manusia ada potensi untuk baik dan ada potensi untuk jahat, setan akan mempergunakan potensi untuk jahat dalam mencelakakan manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya, setan yang terlaknat ini mengetahui bahwa dirinya tidak mampu menyesatkan semua hamba Allah, dan bahwa mereka tidak berkuasa apa-apa terhadap hamba-hamba Allah yang ikhlas, dia hanyalah berkuasa terhadap orang-orang yang menjadikannya sebagai kawannya, menaatinya dan meninggalkan ketaatan Ar Rahman. Setan mengambil bagian mereka, dia akan menyesatkan mereka dari jalan yang lurus; baik sesat dalam hal ilmu maupun amal.

[19] Yakni menaruh dalam hati mereka rasa lamanya hidup di dunia dan tidak adanya kebangkitan serta hisab. Ada pula yang menafsirkan, bahwa di samping menyesatkan manusia, dia juga akan menghias kesesatan itu, sehingga manusia mengira bahwa yang demikian merupakan kebaikan. Hal ini merupakan keburukan ditambah keburukan, mereka mengerjakan amalan penghuni neraka, namun mereka mengira bahwa amalan itu memasukkan ke surga sebagaimana yang menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Yang demikian (hanyalah) angan-angan mereka yang kosong belaka. “ (Terj. Al Baqarah: 111) Demikian pula seperti yang menimpa orang-orang munafik, “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) sambil berkata, “Bukankah Kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu- ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Terj. Al Hadiid: 14)

[20] Menurut kepercayaan Arab jahiliyah, binatang-binatang yang akan dipersembahkan kepada patung-patung berhala, harus dipotong telinganya lebih dahulu, dan binatang yang seperti ini tidak boleh dikendarai dan tidak dipergunakan lagi, serta harus dilepaskan saja. Termasuk pula dalam hal ini unta Bahirah, Sa’ibad, Washilah dan Haam seperti yang disebutkan dalam Al Ma’idah ayat 103. Semua ini termasuk penyesatan setan, di mana yang demikian menghendaki mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. Termasuk pula kepercayaan-kepercayaan lain dan adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pada adat-adat yang biasa dilakukan di daerah Jawa dan lainnya, mereka melakukan berbagai acara dengan adanya keyakinan-keyakinan tertentu. Misalnya memandikan keris, melempar sesaji ke tengah laut, dsb. di mana di dalamnya banyak kemusyrikan, wallahul musta’aan.

[21] Imam Thabari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas, bahwa ia membenci melakukan pengebirian, ia berkata, “Tentang hal ini turunlah ayat, “dan akan kusuruh mereka mengubah ciptaan Allah.” (Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

[22] Mengubah ciptaan Allah dapat berarti mengubah agama Allah dan menggantinya dengan kekafiran, menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Ada pula yang menafsirkan dengan “mengubah penampilan fisik” untuk kecantikan, seperti melakukan tato, menipiskan gigi, mencabut alis, merenggangkan gigi dsb. hal itu, karena di dalamnya terdapat sikap tidak suka dengan ciptaan Allah, mengkritik kebijaksanaan-Nya, menganggap bahwa apa yang mereka buat dengan tangan mereka lebih baik daripada ciptaan Allah. Ada pula yang menafsirkan dengan “Mengubah fitrah yang tertanam dalam jiwa manusia”, yakni karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan hamba-hamba-Nya dalam keadaan hanif (lurus), diciptakan dalam keadaan mau menerima yang hak dan lebih mengutamakannya, lalu setan pun datang dan menarik mereka dari akhlak yang mulia ini serta menghias keburukan, kesyrikkan, kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan kepada mereka. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan manusia di atas fitrah Islam, namun kedua orang tuanya yang mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan manusia di atas tauhid, rasa cinta dan mengenal-Nya, namun setan menyerang mereka bagaikan serigala yang yang menyerang kambing yang sedang sendiri. Kalau bukan karena kelembutan Allah dan kepemurahan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, tentu akan menimpa mereka sebagaimana yang menimpa orang-orang yang terfitnah lainnya karena berpaling dari Ar Rahman beralih mendekati setan yang terkutuk, dan barang siapa yang menjadikan setan sebagai walinya, maka sungguh ia telah menderita kerugian yang nyata. Kerugian manakah yang melebihi kerugian agama dan dunia serta dibinasakan hidupnya oleh maksiat dan dosa-dosa, di mana ia akan memperoleh kesengsaraan yang kekal dan hilangnya kenikmatan. Sebaliknya, barang siapa yang menjadikan Allah sebagai walinya dan lebih mengutamakan ridha-Nya, maka ia akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

[23] Seperti janji akan berumur panjang dan sebagainya. Janji atau wa’d bisa juga berarti wa’id (ancaman) sebagaimana setan menjanjikan kemiskinan jika manusia bersedekah dan berinfak, yakni mengancam akan mendapatkan kemiskinan. Setan juga menakut-nakuti manusia, jika mereka berjihad akan terbunuh. Demikian juga setan menakut-nakuti manusia ketika mereka mencari keridhaan Allah dengan was-was yang dimasukkan ke dalam pikiran mereka sehingga mereka menjadi malas mengerjakan ibadah, dan menggantinya dengan angan-angan kosong, seperti akan hidup lama di dunia sehingga mengalihkan pandangan manusia yang sebelumnya tertuju kepada akhirat menjadi tertuju kepada dunia.

[24] Yang mereka kira akan memperolehnya serta disingkirkan keyakinan terhadap kebangkitan dan pembalasan.

[25] Seperti fatamorgana yang dari kejauhan nampak seperti ada air, namun ketika didekati ternyata tidak ada.

[26] Yakni orang-orang yang tunduk kepada setan, berpaling dari Ar Rahman dan menjadi pengikut Iblis dan rombongannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *