Tafsir Shaad Ayat 27-40

By | April 7, 2013

Ayat 27-29: Alam akan tegak dengan kebenaran dan keadilan, tidak sama antara orang-orang yang mengadakan perbaikan dan mengadakan kerusakan, dan dorongan untuk mentadabburi ayat-ayat Al Qur’an.

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ (٢٧) أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ (٢٨)كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ (٢٩)

  Terjemah Surat Shaad Ayat 27-29

27. [1]Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir[2], maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka[3].

28. Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi?[4] Maka pantaskah Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat?[5]

29. Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah[6] agar mereka menghayati ayat-ayat-Nya[7] dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran[8].

Ayat 30-40: Kisah Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepadanya dengan ditundukkan jin dan manusia untuknya, serta ujian Allah untuk Beliau.

 وَوَهَبْنَا لِدَاوُدَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (٣٠) إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ (٣١) فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (٣٢) رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالأعْنَاقِ (٣٣) وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ (٣٤) قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (٣٥) فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ (٣٦) وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ (٣٧)وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الأصْفَادِ (٣٨) هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (٣٩) وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ (٤٠)

Terjemah Surat Shaad Ayat 30-40

30. [9]Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba[10]. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah)[11].

31. (Ingatlah) ketika pada suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya,

32. Maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku lalai dari mengingat Tuhanku, sampai matahari terbenam[12].”

33. “Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku.” lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu[13].

34. Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit)[14], kemudian dia bertobat[15].

35. Dia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

36. Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya,

37. dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam[16],

38. dan (setan) yang lain[17] yang terikat dalam belenggu[18].

39. Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) tanpa perhitungan[19].

40. [20]Dan sungguh, dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami[21] dan tempat kembali yang baik.


[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan tentang sempurnanya hikmah (kebijaksanaan)-Nya dalam menciptakan langit dan bumi, dan bahwa Dia tidaklah menciptakan keduanya sia-sia (tanpa hikmah, faedah dan maslahat).

[2] Mereka beranggapan dengan anggapan yang tidak layak dengan kebesaran Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[3] Yakni biarlah neraka yang mengambil hak yang mereka abaikan itu. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran dan untuk kebenaran, Dia menciptakan keduanya (langit dan bumi) untuk memberitahukan kepada hamba sempurnanya ilmu-Nya, kemampuan-Nya, luasnya kekuasaan-Nya, dan bahwa Dia yang berhak disembah tidak selain-Nya yang tidak mampu menciptakan apa-apa, dan bahwa kebangkitan adalah hak, dan bahwa Allah akan memutuskan masalah yang terjadi antara orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk.

[4] Yakni janganlah orang yang tidak mengetahui tentang kebijaksanaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyamakan antara orang-orang yang baik dan yang buruk dalam hukum-Nya.

[5] Hal ini tentu tidak layak dengan kebijaksanaan Allah dan hukum-Nya.

[6] Maksudnya, di dalam Al Qur’an terdapat kebaikan dan ilmu yang banyak, terdapat petunjuk dari kesesatan, terdapat obat dari penyakit, cahaya sebagai penerang di tengah kegelapan, dan terdapat hukum yang dibutuhkan oleh manusia. Di dalamnya terdapat dalil yang qath’i untuk semua tuntutan agama, di mana kitab tersebut merupakan kitab paling agung yang datang ke alam semesta.

[7] Ini di antara hikmah diturunkan-Nya Al Qur’an, yaitu agar manusia menghayati ayat-ayat-Nya, sehingga mereka dapat menggali ilmunya serta mengkaji rahasia dan hikmah-Nya. Hal itu, karena dengan mentadaburi isinya dan mengayati maknanya serta mengulang-ulang pikiran untuknya, maka akan dicapai keberkahan dan kebaikannya. Dalam ayat ini terdapat dorongan untuk mentadabburi Al Qur’an, dan bahwa ia termasuk amalan yang paling utama, dan bahwa membaca sambil mentadabburinya lebih utama daripada membaca cepat namun maksud tersebut tidak tercapai.

[8] Dengan Al Qur’an, maka orang-orang yang berakal sehat dapat mengingat semua ilmu dan semua tuntutan. Ayat ini menunjukkan, bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, maka ia akan semakin sadar dengannya dan memperoleh manfaat daripadanya.

[9] Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan, bahwa Dia memberikan kepada Dawud (anak bernama) Sulaiman yang menjadi nabi sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud,” (Terj. An Naml: 16) yakni dalam kenabian. Hal ini, karena Dawud memiliki banyak anak selain Sulaiman, karena Beliau memiliki seratus istri yang merdeka.”

[10] Ini adalah pujian bagi Sulaiman karena ia sangat taat, banyak beribadah, dan kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

[11] Kata “Awwab” bisa juga diartikan sangat sering kembali kepada Allah dalam semua keadaannya, baik dengan beribadah, kembali, mencintai, berdzikr, berdoa dan bertadharru’ (merendahkan diri) serta berusaha mencari keridhaan Allah dan mengedepankannya di atas segala sesuatu. Oleh karena itulah, ketika dipertunjukkan kepadanya kuda yang cepat larinya, di mana ketika kuda itu berhenti salah satu kakinya diangkat, dan lagi pemandangan kuda-kudanya cukup indah dan menarik terlebih bagi orang yang memerlukannya seperti raja, dan pertunjukan itu terus ditampilkan sampai matahari tenggelam sehingga Beliau lupa tidak shalat Ashar dan menyesal, kemudian berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku lalai dari mengingat Tuhanku, sampai matahari terbenam.”

[12] Ibnu Katsir berkata, “Lebih dari seorang kaum salaf dan mufassir menrangkan, bahwa Nabi Sulaiman dibuat sibuk karena pertunjukan itu sampai lewat waktu Ashar, namun yang pasti bahwa Beliau tidaklah meninggalkannya karena sengaja, bahkan karena lupa sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat sibuk pada peperangan Khandaq sampai tidak sempat shalat Ashar, dan melakukannya setelah matahari tenggelam.”

[13] Menurut Al Hasan Al Bashri: Sulaiman berkata, “Tidak, demi Allah (kuda-kuda) ini tidak boleh membuatku lalai dari beribadah kepada Tuhanku. (Ini) adalah yang terakhir untukmu.” Maka Ia memerintahkan untuk disembelih.” Ini pula yang dikatakan Qatadah. As Suddiy berkata, “Ia potong leher dan kakinya dengan pedang.” Namun Ali bin Thalhah berkata: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “Beliau mengusap bagian atas kuda dan kakinya karena cinta kepadanya.” Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, menurutnya, karena ia tidak mungkin menyiksa hewan dengan memotong kakinya dan membinasakan harta di antara hartanya tanpa sebab selain hanya karena sibuk melihatnya sampai lalai dari shalatnya, padahal kuda itu tidak bersalah.” Menurut Ibnu Katsir, bahwa apa yang dirajihkan Ibnu Jarir perlu ditinjau kembali, karena bisa saja dalam syariat mereka hal itu diperbolehkan, apalagi Beliau lakukan sebagai sikap marah karena Allah disebabkan Beliau sibuk dengan kuda-kuda itu sampai lewat waktu shalat. Oleh karena itu, ketika ia telah meninggalkan hal itu, Allah ‘Azza wa Jalla menggantinya dengan yang lebih baik darinya, yaitu angin yang berhembus dengan baik sesuai perintahnya, di mana perjalanannya di pagi hari sama seperti perjalanannya sebulan dan perjalanannya di sore hari sama seperti perjalanannya sebulan. Hal ini jelas lebih cepat dan lebih baik dari kuda.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Qatadah dan Abuddahma’, di mana keduanya adalah orang yang sering bepergian menuju Baitullah. Keduanya berkata, “Kami mendatangi salah seorang penduduk Badui, lalu orang itu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tanganku dan mengajarkanku sebagian di antara ilmu yang Allah ajarkan kepadanya, dan Beliau bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ

“Sesungguhnya engkau tidaklah meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad)

[14] Ayat ini juga bisa diartikan sebagai berikut, “Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami letakkan sebuah jasad di atas kursinya, kemudian dia bertobat.” Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak menerangkan hakikat jasad yang Dia letakkan di atas kursinya. Kita mengimani bahwa Allah menguji Beliau dengan meletakkan sebuah jasad di atas kursinya, dan kita tidak mengetahui tentang jasad itu? Semua perkataan yang membicarakan tentang hal itu berasal dari cerita Israiliyyat; kita tidak mengetahui benar dan dustanya, wallahu a’lam.” Sebahagian ahli tafsir ada mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ujian ini ialah kehilangan kerajaan Sulaiman disebabkan aib yang biasa terjadi pada manusia sehingga orang lain duduk di atas singgasananya.

[15] Yakni setelah ujian itu, Beliau kembali kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berdoa dan meminta ampunan-Nya, serta meminta kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya.

[16] Yakni menyelam ke dalam laut mengambil perhiasannya.

[17] Yakni yang durhaka kepadanya.

[18] Yaitu dengan disatukan tangan mereka dengan leher.

[19] Maksudnya semuanya boleh Beliau lakukan dan Beliau tidak akan dihisab terhadapnya. Yang demikian karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengetahui keadilan Beliau dan baiknya keputusannya.

[20] Yakni jangan engkau kira bahwa kenikmatan itu diberikan kepada Sulaiman di dunia, bahkan di akhirat ia juga memperoleh kebaikan yang besar.

[21] Beliau termasuk orang-orang yang didekatkan dengan Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas salam cukup banyak, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengisahkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berita orang-orang terdahulu agar hati Beliau kokoh dan tenteram, dan menyebutkan kepada Beliau ibadah mereka, kesabarannya dan kembalinya mereka, di mana hal tersebut membuat Beliau rindu berlomba dengan mereka, rindu mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang mereka lakukan serta bersabar terhadap gangguan kaumnya. Oleh karena itu, di sini ketika Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan tentang gangguan kaum Beliau terhadap Beliau, ucapan mereka terhadap Beliau, ucapan mereka terhadap yang Beliau bawa, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyuruh Beliau bersabar dan mengingat hamba-Nya Dawud ‘alaihiss salam agar Beliau merasa terhibur dengannya.

2. Allah Subhaanahu wa Ta’aala memuji dan mencintai orang yang kuat dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya, yakni kuat hati dan badan, di mana daripadanya muncul atsar (pengaruh) dari ketaatan, kebaikannya dan banyaknya ketaatan yang tidak akan dihasilkan jika berasal dari kelemahan dan tidak adanya kekuatan, dan bahwa sepatutnya bagi seorang hamba mendatangi sebab-sebabnya, tidak memilih kemalasan dan santai yang merusak kekuatan dan melemahkan jiwa.

3. Kembali kepada Allah dalam segala urusan termasuk sifat-sifat para nabi dan manusia pilihan-Nya sebagaimana Allah memuji Nabi Dawud dan Sulaiman karena memiliki sifat itu. Oleh karena itu, hendaknya hal itu diikuti. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka.” (Terj. Al An’aam: 90)

4. Allah memberikan keistimewaan kepada Nabi-Nya Dawud ‘alaihis salam dengan suara yang bagus, di mana dengan sebabnya gunung-gunung dan burung-burung ikut bertasbih bersama Beliau di pagi dan petang.

5. Termasuk nikmat besar yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya adalah Allah karuniakan kepadanya ilmu yang bermanfaat, mengetahui hukum dan dapat memutuskan masalah manusia dengan adil sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan nikmat-Nya ini kepada hamba-Nya Dawud ‘alaihis salam.

6. Perhatian Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada para nabi dan manusia pilihan-Nya ketika terjadi sedikit ketergelinciran dari mereka dengan memberikan cobaan yang dengannya dapat tersingkir sesuatu yang dikhawatirkan, dan keadaan mereka menjadi lebih sempurna sebagaimana yang terjadi pada Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas salam.

7. Para nabi ‘alaihimush shalaatu was salaam adalah orang-orang yang ma’shum (terpelihara) dari kesalahan dalam hal yang mereka sampaikan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala, karena maksud dari risalah tidaklah tecapai kecuali dengan cara seperti itu, dan bisa saja mereka tergelincir ke dalam maksiat karena terdorong oleh tabiat manusiawi dari mereka, akan tetapi Allah Subhaanahu wa Ta’aala dengan kelembutan-Nya segera menarik mereka.

8. Nabi Dawud ‘alaihis salam pada sebagian besar keadaannya senantiasa menetap di mihrabnya untuk berkhidmat kepada Tuhannya. Oleh karena itulah dua orang yang bertengkar itu menaiki dinding mihrab, karena ketika Beliau sedang menyendiri di mihrab, tidak ada seorang pun yang mendatanginya, bahkan Beliau tidak menjadikan semua waktunya untuk manusia meskipun banyak masalah-masalah yang datang kepadanya. Beliau menjadikan waktu khusus untuk menyendiri bersama Tuhannya, merasa tenang dengan beribadah kepada-Nya, sehingga membantunya untuk ikhlas dalam semua urusannya.

9. Sepatutnya ketika masuk menggunakan adab yang baik, karena ketika dua orang yang bertengkar masuk menemui Nabi Dawud ‘alaihis salam dengan cara yang tidak biasanya dan tidak melalui pintu masuk, membuat Beliau terkejut dan takut kepada mereka, demikian pula akan membuat tuan rumah lainnya takut dan berprasangka buruk kepadanya.

10. Sikap kurang sopan dari orang yang bermasalah tidak boleh menghalangi hakim memutuskan dengan hak (benar).

11. Sabarnya Nabi Dawud ‘alaihis salam, karena Beliau tidak segera marah ketika didatangi dua orang yang bertengkar yang masuk tanpa meminta izin, padahal Beliau raja. Beliau tidak membentaknya dan tidak memarahinya.

12. Bolehnya orang yang dizalimi berkata kepada orang yang menzaliminya, “Engkau telah menzalimiku.”

13. Orang yang dinasihati meskipun kedudukannya tinggi dan ilmunya banyak janganlah marah, bahkan hendaknya ia menyikapinya dengan menerima dan berterima kasih.

14. Persekutuan antara kerabat dan teman serta banyak terkait dengan masalah harta duniawi menyebabkan timbul permusuhan dan sikap zalim terhadap yang lain, dan tidak ada yang dapat menolak hal itu selain berpegang dengan takwa, bersabar di atas perkara yang benar dengan iman dan amal saleh, dan bahwa ini merupakan sesuatu yang paling sedikit dilakukan oleh manusia.

15. Istighfar dan ibadah, khususnya shalat termasuk penghapus dosa.

16. Pemuliaan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada hamba-Nya Dawud dan Sulaiman dengan didekatkan kepada-Nya, memperoleh pahala yang baik, dan agar tidak ada yang menyangka bahwa yang terjadi pada keduanya mengurangi derajat keduanya di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Inilah di antara sempurnanya kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, yaitu apabila Dia telah mengampuni mereka dan menyingkirkan bekas dosa mereka, maka Dia singkirkan pula atsar (bekas) yang diakibatkan dari dosa itu sehingga tidak menempel di hati manusia. Karena apabila mereka mengetahui sebagian dosa mereka, maka akan terasa dalam hati mereka turunnya kedudukan orang-orang tersebut, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala singkirkan atsar ini, dan hal ini tidaklah sulit bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang Maha Mulia dan Maha Pengampun.

17. Memutuskan hukum di antara manusia adalah kedudukan agama yang dilakukan para rasul Allah dan makhluk pilihan-Nya, dan bagi orang yang melakukannya wajib memutuskan dengan hak dan menjauhi hawa nafsu. Tentunya untuk memutuskan dengan hak dibutuhkan pengetahuan terhadap perkara syar’i, mengetahui gambaran masalah yang akan dihukumi, dan cara memasukkannya ke dalam hukum syar’i. Adapun orang yang tidak mengetahui salah satunya tidak cocok memutuskan dan tidak halal maju untuk memutuskannya.

18. Bagi hakim harus berhati-hati terhadap hawa nafsu, ia harus melawan nafsunya agar kebenaran menjadi tujuannya, serta membuang rasa cinta atau benci kepada salah satu pihak ketika memberikan keputusan.

19. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam bagian dari keutamaan Nabi Dawud ‘alaihis salam, dan termasuk nikmat Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepadanya adalah mengaruniakan Sulaiman kepada Nabi Dawud ‘alaihis salam, dan bahwa termasuk nikmat terbesar dari Allah kepada seorang hamba adalah dikaruniakan-Nya anak yang saleh, jika anak tersebut berilmu, maka berarti cahaya di atas cahaya.

20. Pujian Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.

21. Banyaknya kebaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, Dia mengaruniakan amal yang saleh dan akhlak yang mulia, kemudian memuji mereka, padahal Dialah yang memberikannya.

22. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam mengutamakan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala sesuatu.

23. Segala sesuatu yang menyibukkan hamba dari mengingat Allah adalah hal yang tercela, maka hendaklah ia tinggalkan dan beralih kepada hal yang lebih bermanfaat baginya.

24. Termasuk kaidah penting yang perlu diingat adalah, bahwa barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya. Nabi Sulaiman alaihis salam sampai rela mengorbankan harta yang dicintainya, yaitu kuda jinak yang cepat larinya agar dapat beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan tidak disibukkan olehnya.

25. Penundukkan setan tidak bisa dilakukan oleh seorang pun setelah Nabi Sulaiman ‘alaihis salam.

26. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam adalah seorang raja dan nabi, dia berhak berbuat apa saja yang dia inginkan, akan tetapi Beliau tidak menginginkan selain keadilan. Perbedaannya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, bahwa Beliau adalah seorang nabi dan seorang hamba, bukan raja, sehingga keinginan Beliau mengikuti perintah Allah, di mana Beliau tidaklah berbuat dan meninggalkan sesuatu kecuali dengan perintah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *