Tafsir Az Zumar Ayat 53-67

By | April 7, 2013

Ayat 53-59: Ajakan Allah Subhaanahu wa Ta’aala kepada hamba-hamba-Nya untuk bertobat, larangan berputus asa dari rahmat Allah, dan gambaran seseorang yang menghukum dirinya sendiri.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (٥٣) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ    (٥٤) وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ (٥٥) أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (٥٦) أَوْ تَقُولَ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (٥٧) أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (٥٨) بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٥٩)

Terjemah Surat Az Zumar Ayat 53-59

53. [1] [2]Katakanlah[3], “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri![4] Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah[5]. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[6].

54. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya[7] sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong.

55. [8]Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Qur’an) dari Tuhanmu[9] sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadari[10],

56. [11]Agar jangan ada orang yang mengatakan[12], “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)[13],”

57. atau (agar jangan) ada yang berkata, “Sekiranya[14] Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa,”

58. atau (agar jangan) ada yang berkata ketika melihat azab, “Sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-orang yang berbuat baik[15].”

59. [16]Sungguh, sebenarnya keterangan-keterangan-Ku telah datang kepadamu[17], tetapi kamu mendustakannya, malah kamu menyombongkan diri[18] dan termasuk orang kafir[19].”

Ayat 60-67: Perbedaan keadaan antara orang yang bertakwa dengan orang yang berdusta terhadap Allah, dan bahwa yang mengatur dan berkuasa terhadap segala sesuatu adalah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, serta peringatan agar menjauhi kemusyrikan.

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ (٦٠) وَيُنَجِّي اللَّهُ الَّذِينَ اتَّقَوْا بِمَفَازَتِهِمْ لا يَمَسُّهُمُ السُّوءُ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦١) اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (٦٢) لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (٦٣) قُلْ أَفَغَيْرَ اللَّهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ (٦٤) وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ     (٦٥) بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ (٦٦) وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (٦٧)

  Terjemah Surat Az Zumar Ayat 60-67

60. [20]Dan pada hari Kiamat engkau akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah[21], wajahnya menjadi hitam. Bukankah neraka Jahannam itu tempat bagi orang yang menyombongkan diri[22]?

61. [23]Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka[24]. Mereka tidak disentuh oleh azab dan tidak bersedih hati[25].

62. [26]Allah Pencipta segala sesuatu[27] dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.

63. Milik-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi[28]. [29]Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah[30], mereka itulah orang yang rugi[31].

64. Katakanlah (Muhammad)[32], “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, Wahai orang-orang yang bodoh[33]?”

65. Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi[34].

66. [35]Karena itu, hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur[36].”

67. [37]Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya[38]. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.


[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa orang-orang yang pernah berbuat syirk juga melakukan pembunuhan, dan banyak melakukan hal itu, demikian pula melakukan perzinaan dan banyak melakukan hal itu, lalu mereka mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya yang engkau sampaikan dan engkau serukan benar-benar bagus. Kalau sekiranya engkau memberitahukan kami kaffarat (penebus) terhadap amal yang kami kerjakan. Maka turunlah ayat, “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, …dst.” (Terj. Al Furqaan: 68) demikian pula turun ayat, “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…dst.” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i.

Hakim meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Umar ia berkata, “Kami pernah mengatakan bahwa bagi orang yang melakukan fitnah (menghalangi manusia dari jalan Allah) tidak bisa bertobat dan Allah tidak akan menerima tobatnya meskipun sedikit. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, maka diturunkan ayat kepada mereka, “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” dan (turun pula) beberapa ayat setelahnya. Umar berkata, “Lalu aku tulis ayat itu dengan tanganku dalam sebuah lembaran dan aku kirim kepada Hisyam bin Al ‘Aash, maka Hisyam bin Al ‘Aash berkata, “Ketika surat itu datang kepadaku, maka aku membacanya di Dzi Thuwa, aku naikkan ke atas dan aku tundukkan, namun aku tidak memahaminya sampai aku berkata, “Ya Allah, berilah kepahaman kepadaku.” Maka Allah Ta’ala memahamkan hatiku, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan kami dan pada ucapan kami tentang diri kami dan dikatakan berkenaan dengan kami. Maka aku kembali ke untaku dan duduk di atasnya, kemudian aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Beliau berada di Madinah.” (Hakim berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, namun keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak menyebutkannya,” dan didiamkan oleh Adz Dzahabi). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagaimana dalam Sirah Ibnu Hisyam juz 1 hal. 475. Haitsami dalam Majma’uz Zawaa’id juz 6 hal. 61 berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan para perawinya adalah tsiqah.” Syaikh Muqbil berkata, “Hadits tersebut dalam Kasyful Astaar juz 1 hal. 302, di dalamnya terdapat Shadaqah bin Saabiq dan ia tersembunyi keadaannya, tidak ada yang mentsiqahkan selain Ibnu Hibban, akan tetapi telah dimuataba’ahkan oleh Abdullah bin Idris sebagaimana dalam riwayat Hakim).”

[2] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melampaui batas dalam maksiat tentang luasnya kemurahan-Nya, dan Dia mendorong mereka kembali kepada-Nya sebelum waktu untuk itu tidak ada lagi, yaitu setelah mati.

[3] Yakni wahai Rasul dan orang-orang yang menjadi penggantinya dari kalangan para da’i.

[4] Yaitu dengan mengikuti semua hawa nafsu yang mereka inginkan yang berupa perbuatan-perbuatan dosa dan mengerjakan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Yang Maha Mengetahui semua yang gaib.

[5] Sehingga kamu jatuhkan dirimu ke jurang kebinasaan dan kamu katakan, “Dosa-dosa kami sudah terlalu banyak dan aib kami sudah menumpuk dan tidak ada jalan untuk menghapuskannya,” sehingga kamu terus menerus berbuat maksiat dan menghiasi dirimu setiap hari dengannya. Kenalilah Tuhanmu dengan nama-nama-Nya yang menunjukkan kemurahan-Nya, dan ketahuilah bahwa Dia menghapuskan dosa-dosa semuanya, baik syirk, membunuh, berzina, berbuat riba, zalim dan lainnya baik dosa besar maupun kecil.

[6] Sifat-Nya mengampuni dan merahmati, di mana keduanya adalah sifat yang selalu pada dzat-Nya, pengaruhnya senantiasa mengalir di alam semesta dan memenuhinya. Kedua Tangan-Nya melimpahkan kebaikan di malam dan siang dan nikmat-nikmat-Nya senantiasa diturunkan kepada hamba-hamba-Nya baik di waktu terang-terangan maupun di waktu tersembunyi. Dia lebih suka memberi daripada menghalangi, rahmat-Nya mendahului kemurkaan-Nya, namun untuk ampunan dan rahmat-Nya dan untuk memperolehnya ada sebab yang jika tidak didatangi hamba, maka sama saja ia menutup pintu rahmat dan ampunan bagi dirinya, di mana sebab yang paling besar dan paling agungnya adalah kembali kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dengan tobat nashuh (yang sesungguhnya), berdoa, bertadharru’ dan beribadah kepada-Nya. Oleh karena itulah di ayat selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengajak mereka yang sudah terbenam dalam dosa itu agar kembali dan bersegera menuju kepada-Nya.

[7] Yakni ikhlaskanlah amalmu karena-Nya. Hal itu, kaena tanpa keikhlasan maka amal yang tampak maupun yang tersembunyi tidak ada artinya.

[8] Seakan-akan ada pertanyaan, “Apa maksud kembali dan berserah diri? Apa bagian-bagian dan amal-amalnya? Maka dijawab dengan ayat di atas.

[9] Di antaranya adalah apa yang diperintahkan Allah yang terkait dengan amalan batin (tersembunyi) seperti mencintai Allah, takut kepada-Nya, berharap kepada-Nya, memiliki rasa tulus kepada hamba-hamba Allah, mencintai kebaikan untuk mereka dan sebagainya. Sedangkan apa yang diperintahkan Allah yang terkait dengan amalan zahir (tampak) adalah seperti shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, berbagai macam ihsan dsb. Inilah di antara yang terbaik yang diturunkan kepada kita dari Tuhan kita. Orang-orang yang mengikuti perintah-Nya yang disebutkan dalam kitab-Nya atau yang disebutkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya, maka dialah orang yang kembali dan berserah diri.

[10] Kalimat ini merupakan dorongan untuk segera melakukannya dan memanfaatkan kesempatan yang ada.

[11] Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikan peringatan.

[12] Ketika tiba hari penyesalan mereka, namun ketika itu penyesalan tidak berguna, yaitu hari Kiamat.

[13] Atau maksudnya memperolok-olokkan pembalasan dan sekarang aku melihatnya dengan mata kepala.

[14] Kata “Lau” (sekiranya) di ayat ini adalah lit tamanniy (untuk angan-angan atau harapan yang tidak mungkin tercapai), sehingga maksudnya, “Seandainya Allah memberiku hidayah, lalu aku bertakwa kepada-Nya, sehingga aku selamat dari siksa dan berhak memperoleh pahala.”

[15] Dalam ayat lain Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (Terj. Al Munaafiquun: 11).

[16] Lalu dikatakan kepadanya.

[17] Yakni Al Qur’an yang merupakan sebab hidayah.

[18] Dari beriman kepadanya.

[19] Oleh karena itu, permintaan untuk kembali ke dunia adalah bentuk main-main, dan kalau seandainya mereka dikembalikan ke dunia tentu mereka akan mengulangi perbuatan yang dilarang kepada mereka dan mereka benar-benar dusta.

[20] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan tentang kehinaan orang-orang yang berdusta terhadap-Nya, dan bahwa wajah-wajah mereka pada hari Kiamat akan hitam seperti malam yang kelam, di mana orang-orang yang berada di mauqif (padang mahsyar) mengetahui mereka. Kebenaran adalah sesuatu yang terang, tetapi karena mereka menghitamkan wajah kebenaran dengan kedustaan, maka Allah menghitamkan wajah mereka sebagai balasan yang sesuai dengan amal yang mereka kerjakan. Mereka memperoleh wajah yang hitam dan azab yang keras di neraka Jahanam. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, Bukankah neraka Jahannam itu tempat bagi orang yang menyombongkan diri?” Di sana terdapat azab, penghinaan dan kemurkaan yang besar untuk orang-orang yang sombong dan akan diambil hak dari mereka yang ketika di dunia mereka tidak penuhi.

[21] Seperti menisbatkan sekutu, anak, istri kepada-Nya, memberitahukan tentang Dia dengan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, mengaku menjadi nabi, berkata dalam syariat-Nya sesuatu yang tidak dikatakan-Nya, memberitahukan bahwa Dia berfirman ini dan itu atau menetapkan syariat ini dan itu padahal tidak demikian.

[22] Yakni sombong terhadap kebenaran, sombong dari beribadah kepada Tuhannya lagi berdusta terhadap-Nya.

[23] Setelah Allah memberitahukan keadaan orang-orang yang sombong, Dia menyebutkan keadaan orang-orang yang bertakwa.

[24] Mafaaz di ayat ini artinya tempat kemenangan, yaitu surga. Maksudnya Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dengan menjadikan mereka masuk ke surga. Bisa juga kata mafaaz diartikan dengan najaat (keselamatan), yakni Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyelamatkan mereka karena bersama mereka ada alat keselamatan, yaitu bertakwa kepada Allah, di mana takwa merupakan bekal menghadapi berbagai peristiwa menegangkan pada hari Kiamat.

[25] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menafikan dari mereka terkena azab dan rasa takut, sehingga mereka benar-benar aman. Mereka memperoleh keamanan yang selalu menyertai mereka sampai masuk ke tempat keselamatan (surga).

[26] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan tentang keagungan dan kesempurnaan-Nya, dimana hal ini mengharuskan orang-orang yang kafir kepada-Nya layak memperoleh kerugian sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[27] Kalimat ini dan yang semisalnya termasuk yang sering disebutkan dalam Al Qur’an. Ia menunjukkan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Namun firman Allah bukanlah termasuk makhluk, karena firman adalah sifat bagi yang berfirman, dan Allah Ta’ala dengan nama dan sifat-Nya adalah yang pertama, dimana tidak ada sesuatu sebelum-Nya. Oleh karena itu, penggunaan dalil oleh kaum Mu’tazilah dengan ayat ini bahwa Al Qur’an adalah makhluk termasuk kebodohan yang sangat, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala senantiasa dengan nama dan sifat-Nya itu, dan tidak ada sifat yang baru bagi-Nya, demikian pula tidak lepas darinya satu waktu pun. Alasannya adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan tentang Diri-Nya yang mulia bahwa Dia Pencipta segala esuatu (alam bagian atas maupun alam bagian bawah), dan bahwa Dia Wakil (yang diserahi) terhadap segala sesuatu, sedangkan perwakilan secara sempurna harus ada pengetahuan dari wakil terhadap sesuatu yang diwakili dan mengetahui secara rinci dan ada kemampuan sempurna terhadap yang diwakilkan agar bisa melakukan tindakan terhadapnya, demikian juga kemampuan menjaga sesuatu yang diwakilkan, dan memiliki hikmah dan pengetahuan terhadap berbagai tindakan agar dapat mengaturnya sesuai dengan yang lebih layak, dan perwakilan tidaklah sempurna kecuali dengan semua sifat itu, jika ada kekurangan, maka ia merupakan kekurangan di dalamnya. Termasuk yang sudah maklum lagi sudah tetap adalah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Mahasuci dari segala kekurangan pada salah satu sifat-Nya, sehingga pemberitahuan-Nya bahwa Dia Wakil terhadap segala sesuatu menunjukkan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu, sempurna kekuasaan-Nya dalam mengaturnya, sempurna pula pengaturan-Nya dan sempurna pula kebijaksanaan-Nya, dimana Dia meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

[28] Seperti hujan, tumbuh-tumbuhan, dsb. Oleh karena itu, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Terj. Fathir: 2)

[29] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan tentang keagungan-Nya yang menghendaki hati memiliki rasa pengagungan penuh kepada Allah, maka Dia menyebutkan keadaan orang-orang yang berbuat kebalikannya, dimana mereka tidak mengagungkan Allah dengan semestinya.

[30] Yang menunjukkan kebenaran yang yakin dan jalan yang lurus.

[31] Mereka rugi tidak memperoleh sesuatu yang memperbaiki hati mereka, yaitu beribadah dan ikhlas kepada Allah. Demikian pula tidak memperoleh sesuatu yang memperbaiki lisan mereka, yaitu Dzikrullah, dan tidak memperoleh sesuatu yang memperbaiki anggota badan mereka yaitu ketaatan, dan mereka ganti semua itu dengan yang merusak hati, lisan dan anggota badannya, sehingga mereka rugi tidak memperoleh surga yang penuh kenikmatan yang diperuntukkan untuk orang-orang yang baik hatinya, lisannya dan anggota badannya.

[32] Yakni kepada mereka yang bodoh itu, yang mengajakmu untuk menyembah selain Allah.

[33] Mereka dipanggil sebagai orang-orang yang bodoh, karena seruan mereka untuk menyembah selain Allah tidaklah muncul kecuali dari kebodohan mereka. Hal itu, karena kalau saja mereka memiliki ilmu bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang Mahasempurna dari berbagai sisi, yang menganugerahkan semua nikmat adalah yang berhak diibadahi tidak selain-Nya yang memiliki kekurangan dari berbagai sisi, yang tidak memberi manfaat dan tidak bisa menimpakan madharrat (bahaya), tentu mereka tidak akan memerintahkan demikian. Di samping itu, syirk adalah sesuatu yang menghapuskan amal dan merusak keadaan sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[34] Baik agamamu, duniamu maupun akhiratmu. Hal itu, karena syirk menghapuskan semua amal dan mengharuskan pelakunya mendapatkan siksa. Padahal siapakah yang lebih rugi daripada orang yang sudah banyak beramal namun tidak diberi upah, bahkan mendapatkan siksa?

[35] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa orang-orang yang bodoh memerintahkan Beliau berbuat syirk dan memberitahukan buruknya perkara itu, maka Dia memerintahkan Beliau berbuat ikhlas (memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala).

[36] Yaitu kepada Allah atas taufiq dari-Nya. Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aala disyukuri atas nikmat-nikmat-Nya yang terkait dengan dunia seperti sehat jasmani, memperoleh rezeki dan sebagainya, maka Dia juga berhak disyukuri atas nikmat-nikmat-Nya yang terkait dengan agama seperti taufiq untuk berbuat ikhlas dan bertakwa, bahkan nikmat agama adalah nikmat yang sesungguhnya.

Dengan memikirkan bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan bersyukur atasnya terdapat obat penyakit ujub yang sering menimpa orang-orang yang beramal karena kebodohan mereka.

[37] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Pernah datang seorang laki-laki dari Ahli Kitab kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Abul Qasim, aku sampaikan kepadamu bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan mengangkat semua makhluk di atas satu jari, langit di atas satu jari, semua bumi di atas satu jari, pohon di atas satu jari, dan tanah di atas satu jari, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum sehingga kelihatan gigi gerahamnya. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya…dst.” (Syaikh Muqbil berkata, “Hadits ini para perawinya adalah para perawi hadits shahih. Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan dalam kitab Tauhid hal. 76, Ibnu Jarir juz 24 hal. 27, Baihaqi dalam Asmaa’ wash Shifat hal. 333. Imam Ahmad juga meriwayatkan juz 1 hal. 151, Tirmidzi dan ia menshahihkannya juz 4 hal. 177, Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid (hal.)78, Thabari juz 14 hal. 26 dari hadits Ibnu Abbas yang sama seperti itu, namun di dalamnya terdapat ‘Athaa’ bin As Saa’ib, dia mukhtalith (bercampur hapalannya).” Al Haafizh As Suyuthi dalam Al Itqaan juz 1 hal. 34 berkata, “Hadits tersebut dalam kitab shahih dengan lafaz, “Fa Talaa (Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat…dst.)” Dan inilah yang benar, karena ayat ini adalah Makkiyyah. Syaikh Muqbil berkata, “Aku katakan, bahwa lafaz, “Talaa” yang disebutkan dalam kitab shahih tidaklah menafikan bahwa ayat itu turun, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya. Adapun keadaannya sebagai Makkiyyah, maka jika yang kuat turunnya, yakni ayat ini di Mekah, maka tidak ada penghalang untuk turun dua kali, dan jika tidak berdasarkan sanad yang shahih turunnya di Mekah, maka bisa saja surah ini Makkiyyah selain ayat ini, wallahu a’lam.

[38] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan, bahwa mereka (kaum musyrik) tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya bahkan mereka melakukan hal yang sebaliknya, yaitu menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang memiliki kekurangan baik pada sifat maupun perbuatannya (tidak mampu memberi manfaat, menimpakan bahaya, memberi, menghalangi, dsb.) seperti yang terjadi pada patung dan berhala. Mereka menyamakan makhluk yang memiliki kekurangan itu dengan Khaliq (Pencipta) yang memiliki kesempurnaan dan keagungan, dimana di antara keagungan-Nya adalah bahwa pada hari Kiamat bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya dan langit dengan keadaan yang luas dan besar akan digulung dengan Tangan Kanan-Nya. Namun demikian, orang-orang musyrik itu tidak mengagungkan-Nya dan berani menyekutukan-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *