Tafsir An Najm Ayat 1-18

By | April 5, 2013

Surah An Najm (Bintang)

Surah ke-53. 62 ayat. Makkiyyah

  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-18: Tentang mi’raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi mukjizat bagi Beliau dan keajaiban yang Beliau saksikan di kerajaan Allah yang luas.

  وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (١) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (٢) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (٥) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى (٦) وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى (٧) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (٨) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (٩) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى (١٠) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى    (١١) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى (١٢) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (١٧) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (١٨)

Terjemah Surat An Najm Ayat 1-18

1. [1]Demi bintang ketika terbenam.

2. Kawanmu (Muhammad)[2] tidak sesat dan tidak pula keliru.

3. Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya.

4. Tidak lain (Al Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[3].

5. [4]Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat[5].

6. Yang mempunyai keteguhan[6], maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.

7. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi[7].

8. Kemudian dia mendekat (Kepada Muhammad untuk menyampaikan wahyu), lalu bertambah dekat.

9. Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)[8].

10. Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah[9].

11. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya[10].

12. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu[11]?

13. Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain,

14. (yaitu) di Sidratul Muntaha[12].

15. Di dekatnya ada surga tempat tinggal[13],

16. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.

17. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu[14] dan tidak (pula) melampauinya[15].

18. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar[16].


[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersumpah dengan bintang ketika terbenam di ufuk di akhir malam ketika malam pergi dan siang datang. Hal itu, karena di sana terdapat ayat-ayat Allah yang besar. Allah Subhaanahu wa Ta’aala bersumpah dengan bintang untuk menerangkan kebenaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa wahyu ilahi karena di sana terdapat persesuaian yang menakjubkan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan bintang-bintang sebagai hiasan bagi langit, demikian pula wahyu dan atsar(pengaruh)nya sebagai hiasan bagi bumi. Jika tidak ada ilmu yang diwariskan dari para nabi, tentu manusia berada dalam kegelapan, bahkan lebih gelap dari malam yang kelam. Isi sumpah itu adalah membersihkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tuduhan sesat dalam ilmunya dan dalam niatnya, dimana hal ini menghendaki Beliau sebagai orang yang mendapat petunjuk dalam ilmunya dan memberi petunjuk yang baik niatnya serta memberikan sikap nush-h (tulus) kepada umatnya; berbeda dengan orang-sesat yang sesat; yang rusak ilmu dan niatnya.

[2] Disebutkan kata “kawanmu” untuk mengingatkan mereka, bahwa mereka telah mengenal keadaan dan pribadi Beliau yang penuh dengan kejujuran dan petunjuk, dan bahwa keadaan Beliau tidak samar bagi mereka.

[3] Yakni tidak ada yang ia ikuti selain wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya. Ayat ini menunjukkan bahwa As Sunnah termasuk wahyu Allah kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu,…” (Terj. An Nisaa’: 113), dan bahwa Beliau ma’shum dalam hal yang Beliau sampaikan dari Allah, karena ucapannya tidak keluar dari keinginannya, tetapi dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.

[4] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan yang mengajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu malaikat Jibril ‘alaihis salam; malaikat yang paling utama, paling mulia, paling kuat dan paling sempurna.

[5] Yakni sangat kuat fisik maupun batinnya, kuat melaksanakan perintah Allah, kuat menyampaikan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuat menjaganya dari disentuh oleh setan serta dimasukkan oleh setan sesuatu yang bukan darinya. Hal ini juga termasuk penjagaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap wahyu-Nya, yaitu dengan mengutus malaikat yang kuat lagi amanah.

[6] Ada pula yang menafsirkan dengan ‘kekuatan’, dan dengan ‘fisik yang indah.’

[7] Yaitu ufuk/ujung langit yang tinggi pula dari bumi.

[8] Ini menunjukkan tidak ada lagi perantara antara malaikat Jibril ‘alaihis salam dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[9] Berupa syariat yang besar dan berita yang lurus.

[10] Yakni hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejalan dengan penglihatannya terhadap wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya, sejalan pendengaran, hati dan penglihatannya. Hal ini menunjukkan sempurnanya wahyu yang Allah wahyukan kepada Beliau dan bahwa Beliau menerimanya dengan penerimaan yang tidak ada keraguan lagi; hatinya tidak mendustakan apa yang dilihat matanya serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Bisa juga maksudnya, apa yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lihat pada malam isra’ berupa ayat-ayat Allah yang besar, dan bahwa Beliau meyakininya dengan sepenuh hati. Apa yang Beliau lihat adalah malaikat Jibril ‘alaihis salam sebagaimana yang ditunjukkan susunan ayat di atas, dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril dalam rupa aslinya dua kali; pertama di ufuk yang tinggi di bawah langit dunia sebagaimana telah disebutkan, dan kedua di atas langit yang ketujuh pada malam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diisra’kan.

[11] Yaitu malaikat Jibril ‘alaihis salam.

[12] Sidratul Muntaha adalah pohon bidara yang sangat besar, di atas langit ke-7, yang telah dikunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mi’raj. Disebut Sidratul Muntaha karena sampai ke sanalah ujungnya segala yang naik dari bumi, wallahu a’lam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril di tempat itu, dimana tempat itu adalah tempat ruh-ruh yang tinggi yang bersih dan indah yang tidak didekati oleh setan serta ruh jahat lainnya.

[13] Yakni surga yang mencakup semua kenikmatan, dimana tempat tersebut adalah tempat kembali segala cita-cita dan harapan dan tempat dimana para malaikat, ruh para syuhada’ dan orang-orang yang bertakwa kembali kepadanya. Ayat ini menunjukkan bahwa surga berada di tempat yang paling tinggi; di atas langit yang ketujuh.

[14] Yakni penglihatan Beliau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari maksud yang diinginkan.

[15] Ini termasuk sempurnanya adab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Allah menempatkan kepada Beliau tempat yang Allah tempatkan; tidak kurang darinya dan tidak melewatinya.

[16] Seperti surga, neraka dan perkara-perkara lain yang dilihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam israa’-mi’raj.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *