Tafsir Al Ahqaf Ayat 1-14

By | April 5, 2013

Surah Al Ahqaf (Bukit-Bukit Pasir)

Surah ke-46. 35 ayat. Makkiyyah

  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-5: Kelemahan kaum musyrik dari mendatangkan kitab yang serupa dengan Al Qur’an dan bantahan terhadap orang-orang kafir karena menyembah selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

حم (١) تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (٢) مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ (٣) قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَرُونِي مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الأرْضِ أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِي السَّمَاوَاتِ اِئْتُونِي بِكِتَابٍ مِنْ قَبْلِ هَذَا أَوْ أَثَارَةٍ مِنْ عِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٤) وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ (٥)

Terjemah Surat Al Ahqaf Ayat 1-5

1. Haa Miim.

2. [1]Kitab ini diturunkan dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

3. [2]Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar[3] dan dalam waktu yang ditentukan[4]. [5]Namun orang-orang yang kafir berpaling dari peringatan yang diberikan kepada mereka.

4. Katakanlah (Muhammad)[6], “Terangkanlah (kepadaku) tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepada-Ku apa yang telah mereka ciptakan dari bumi, atau adakah peran serta mereka dalam (penciptaan) langit?[7] [8]Bawalah kepadaku kitab yang sebelum (Al Qur’an) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu)[9], jika kamu orang yang benar.”

5. Dan siapakah yang lebih sesat[10] daripada orang-orang yang menyembah selain Allah (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat[11], dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka[12]?

Ayat 6-8: Batilnya keyakinan syirk, pengingkaran kaum musyrik kepada kebenaran dan berpegangnya mereka dengan ‘aqidah yang batil.

  وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ (٦)وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ (٧) أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ إِنِ افْتَرَيْتُهُ فَلا تَمْلِكُونَ لِي مِنَ اللَّهِ شَيْئًا هُوَ أَعْلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِ كَفَى بِهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (٨)

Terjemah Surat Al Ahqaf Ayat 6-8

6. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat), sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan yang mereka lakukan kepadanya.

7. Dan apabila mereka[13] dibacakan ayat-ayat Kami yang jelas[14], orang-orang yang kafir berkata ketika kebenaran itu datang kepada mereka, “Ini adalah sihir yang nyata[15].”

8. Bahkan mereka berkata, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al Quran)[16].” Katakanlah, “Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tidak kuasa sedikit pun menghindarkan aku dari (azab) Allah[17]. Dia lebih tahu apa yang kamu percakapkan tentang Al Quran itu. Cukuplah Dia menjadi saksi antara aku dan kamu[18]. Dia Maha Pengampun[19] lagi Maha Penyayang[20].”

Ayat 9-14: Menetapkan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tugas Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyampaikan, pembenaran kitab-kitab samawi terhadap kerasulan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pentingnya istiqamah di atas agama.

  يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلا نَذِيرٌ مُبِينٌ (٩) قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَكَفَرْتُمْ بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (١٠) وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ (١١) وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً وَهَذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَى لِلْمُحْسِنِينَ (١٢) إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (١٣) أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٤)

Terjemah Surat Al Ahqaf Ayat 9-14

9. Katakanlah (Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul[21], dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadapmu[22]. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku[23], dan aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan[24].”

10. [25]Katakanlah, “Terangkanlah kepada-Ku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya Al Quran ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya[26], padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur’an lalu dia beriman[27], dan kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim[28].”

11. Dan orang-orang yang kafir berkata[29] kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya (Al Quran)[30] itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya[31]. Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.”[32]

12. Dan sebelum Al Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan (Al Quran) ini adalah kitab yang membenarkannya[33] dalam bahasa Arab[34] untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim[35] dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik[36].

13. Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah[37], tidak ada rasa khawatir pada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati[38].

14. Mereka itulah para penghuni surga[39], kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan[40].


[1] Ini merupakan pujian dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap kitab-Nya yang agung dan pengagungan untuknya. Di dalamnya terdapat bimbingan kepada hamba agar mengambil petunjuknya, mentadabburi ayat-ayat-Nya dan menggali simpanannya.

[2] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan tentang penurunan kitab-Nya yang mengandung perintah dan larangan, maka Dia menyebutkan tentang penciptaan langit dan bumi, sehingga Dia menggabung antara menciptakan dan memerintahkan sebagaimana dalam firman-Nya di ayat lain, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Terj. Ath Thalaaq: 12) Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang menciptakan manusia, menciptakan tempat tinggal mereka dan menundukkan langit dan bumi untuk mereka lalu Dia mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya, Dia memerintahkan dan melarang serta memberitahukan bahwa dunia yang mereka tempati ini adalah tempat beramal dan tempat sementara, bukan tempat tujuan dan tempat persinggahan terakhir, dan bahwa mereka akan pindah ke tempat yang kekal, di mana pada tempat yang kekal itu mereka akan mendapatkan balasan secara sempurna. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga menegakkan dalil yang menerangkan tentang tempat ini (dunia) dan merasakan kepada hamba contoh pahala dan hukuman di dunia agar mendorong mereka untuk mengejar sesuatu yang dicintai dan menjauhkan diri dari yang ditakuti.

[3] Yakni bukan untuk main-main atau percuma begitu saja, bahkan untuk mengenalkan kepada hamba keagungan, kekuasaan dan keesaan Penciptanya, dan agar mereka dapat mengetahui kesempurnaan-Nya dan agar mereka mengetahui bahwa yang berkuasa menciptakan keduanya yang demikian besar dan luas, mampu pula mengembalikan hamba setelah matinya untuk diberi balasan, dan bahwa dunia yang mereka tempati ada batas akhirnya.

[4] Yaitu sampai hari Kiamat.

[5] Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan hal itu, menegakkan dalil dan menyinari jalan, maka Dia memberitahukan, bahwa sebagian makhluk malah tidak menghendaki melainkan berpaling dari yang hak; berpaling dari dakwah para rasul. Berbeda dengan orang-orang yang beriman, ketika mereka mengetahui hakikat yang sebenarnya, maka mereka menerima wasiat Tuhan mereka dan tunduk kepadanya serta memuliakannya, sehingga mereka memperoleh semua kebaikan dan terhindar dari semua keburukan.

[6] Kepada orang-orang yang menyekutukan Allah dengan patung dan berhala yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak dapat menghindarkan bahaya, tidak dapat menghidupkan dan tidak dapat mematikan, yakni katakan kepada mereka untuk menerangkan lemahnya sesembahan mereka dan bahwa sesembahan itu tidak berhak disembah.

[7] Yakni apakah mereka menciptakan benda-benda langit atau bumi? Apakah mereka menciptakan gunung atau mengalirkan sungai? Apakah mereka yang menyebarkan hewan-hewan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan atau apakah mereka ikut serta dan membantu dalam hal semua itu? Jelas sekali, mereka tidak menciptakan dan tidak pula memiliki peran serta dalam hal itu. Ini merupakan dalil ‘aqli (akal) yang menunjukkan bahwa selain Allah semuanya tidak berhak disembah.

[8] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan alasan kedua secara riwayat (dalil naqli), yakni apakah ada kitab yang menyuruh berbuat syrik atau ilmu yang diwariskan dari para rasul yang menyuruh demikian, bahkan semua kitab dan semua rasul mengajak mentauhidkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan melarang berbuat syirk. Dengan demikian, perdebatan orang-orang musyrik untuk menguatkan kemusyrikan mereka sama sekali tidak bersandar kepada dalil maupun bukti, bahkan hanya bersandar kepada sangkaan-sangkaan yang dusta, pandangan-pandangan yang tidak laku dan tidak dipandang, serta akal yang rusak. Hal ini dapat diketahui jika menelusuri keadaan mereka, pengetahuan dan amal mereka serta melihat keadaan orang yang menghabiskan umurnya untuk menyembah patung dan berhala itu, apakah memberi manfaat bagi mereka meskipun sedikit di dunia dan akhirat sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (Terj. Al Ahqaaf: 5)

[9] Yang membenarkan dakwaanmu menyembah patung dan berhala, dan bahwa mereka dapat mendekatkan kamu kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[10] Yakni tidak ada yang lebih sesat.

[11] Maksudnya selama hidupnya di dunia, ia tidak dapat mengambil manfaat apa-apa dari sesembahannya.

[12] Bisa juga maksudnya, bahwa sesembahan itu tidak dapat mendengar doa mereka dan tidak dapat menjawab seruan. Inilah keadaan mereka ketika di dunia, adapun pada hari Kiamat, maka sesembahan itu akan mengingkari kesyirkkan mereka sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya, dan bahwa sebagian mereka akan saling laknat-melaknat dan akan saling berlepas diri.

[13] Orang-orang yang mendustakan itu.

[14] Yang tidak menyisakan keraguan, namun ternyata tidak memberikan kebaikan bagi mereka, bahkan hanya menegakkan hujjah dan mereka malah berkata yang keluar dari kedustaan mereka, “Ini adalah sihir yang nyata.

[15] Ini merupakan pemutarbalikkan hakikat, dimana hal ini hanya laris di kalangan orang-orang yang lemah akal, karena antara kebenaran yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sihir terdapat perbedaan dan pertentangan yang jauh sebagaimana jauhnya langit dan bumi. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kebenaran yang tinggi dan menjulang ke langit, diperkuat oleh dalil-dalil baik yang ada di cakrawala dan oleh apa yang ada pada diri manusia, diakui oleh orang-orang yang berpandangan tajam dan berakal cerdas kemudian sama dengan sihir yang merupakan kebatilan, dimana ia tidak muncul kecuali dari orang yang sesat, zalim, berjiwa kotor dan beramal buruk?

[16] Yakni berasal dari dirinya, bukan dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla.

[17] Yakni jika Dia mengazabku, karena Dia Mahakuasa terhadapku.

[18] Oleh karena itu, kalau aku berani mengada-ada terhadap-Nya, tentu Dia bertindak keras terhadapku dan menghukumku dengan hukuman yang dilihat semua orang. Selanjutnya, Beliau mengajak mereka bertobat terhadap hal yang muncul dari mereka berupa menentang yang hak dan memusuhinya, yaitu pada kata-kata, “Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[19] Bagi orang yang bertobat.

[20] Sehingga Dia tidak segera menghukum mereka. Oleh karena itu, bertobatlah kalian kepadanya dan berhentilah dari apa yang kalian kerjakan selama ini, niscaya Dia akan mengampuni dosamu dan merahmatimu; Dia akan memberimu taufiq kepada kebaikan dan membalasmu dengan pahala yang besar.

[21] Yakni aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul, lalu mengapa kamu menganggap aneh kerasulanku dan mendustakanku, padahal sebelumku telah ada para nabi dan rasul yang dakwah mereka sama dengan dakwahku.

[22] Di dunia ini, yakni apakah aku akan diusir dari kampung halamanku atau dibunuh sebagaimana yang terjadi pada para nabi sebelumku, atau kamu merajamku atau bahkan kamu akan diberi hukuman sebagaimana yang terjadi pada orang-orang sebelummu. Aku hanyalah manusia, aku tidak berkuasa apa-apa. Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang berkuasa terhadapku dan terhadapmu, dan aku tidak dapat mendatangkan apa-apa dari sisiku.

[23] Yakni aku tidak mengadakan sesuatu pun dari sisiku.

[24] Yakni jika kamu menerima risalahku dan memenuhi seruanku, maka itu adalah keberuntungan untukmu di dunia dan akhirat, dan jika kamu menolaknya, maka hisabmu terserah Allah, dan aku telah memperingatkan kamu, sedangkan orang yang telah diperingatkan, maka sudah ditegakkan hujjah.

[25] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdurrahman bin Jubair bin Nufair dari bapaknya dari ‘Auf bin Malik ia berkata: Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi dan aku ikut bersamanya sehingga kami memasuki tempat ibadah orang-orang Yahudi di Madinah pada hari raya mereka, lalu mereka tidak senang terhadap masuknya kami kepada mereka, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Wahai kaum Yahudi! Tunjukkanlah kepadaku 12 orang dari kamu yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah akan menjatuhkan kemurkaan kepada setiap orang Yahudi dari atas langit.” Lalu mereka semua diam dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menjawab, lalu Beliau mengulangi lagi namun tidak ada yang menjawab sehingga ketiga kalinya Beliau mengulangi lagi, namun tidak ada yang menjawab. Kemudian Beliau bersabda, “Demi Allah, kamu memang tidak mau. Sesungguhnya aku adalah orang yang akan mengumpulkan, orang (nabi) yang terakhir, dan nabi yang terpilih, baik kamu beriman atau mendustakan.” Lalu Beliau pulang dan aku ikut bersama Beliau, sehingga ketika kami hendak keluar ada seorang laki-laki yang memanggil dari belakang, “Sebagaimana engkau wahai Muhammad?” Lalu orang itu datang, dan berkata, “Siapakah seseorang yang mau memberitahuku wahai kaum Yahudi?” Mereka (orang-orang Yahudi) menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahui di antara kami orang yang paling tahu dan paling paham tentang kitab Allah daripada engkau, demikian pula daripada bapakmu sebelummu dan kakekmu yang sebelum bapakmu.”:Lalu orang tersebut berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa dia adalah nabi Allah yang kalian temukan dalam Taurat.” Mereka menjawab, “Engkau dusta.” Kemudian mereka membantah perkataannya dan mengatakan, bahwa pada orang tersebut ada keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu dusta dan ucapanmu tidak lagi diterima. Sebelumnya kamu puji dia karena kebaikannya, namun ketika ia beriman, kamu malah mendustakannya dan kamu katakan terhadapnya ucapan yang telah kamu ucapkan sehingga ucapanmu tidak lagi diterima.” Lalu kami keluar dalam keadaan bertiga; yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku, dan Abdullah bin Salam, maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat tentangnya (Abdullah bin Salam), Katakanlah, “Terangkanlah kepada-Ku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya Al Quran ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur’an lalu dia beriman, kamu menyombongkan diri. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Hadits ini menurut Haitsami dalam Majma’uz Zawaa’id juz 7 hal. 106, diriwayatkan oleh Thabrani dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih. Ibnu Hibban juga menyebutkannya dalam Mawaariduzh Zham’aan hal. 518, Thabrani juz 26 hal. 12, Hakim dalam Mustadrak juz 3 hal. 416 dan ia berkata, “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim dan didiamkan oleh Adz Dzahabi.” Syaikh Muqbil berkata, “Hadits tersebut sesuai syarat Muslim, karena Bukhari tidak menyebutkan hadits dari Abdurrahman bin Jubair dan bapaknya, demikian pula Shafwan bin ‘Amr, ia (Bukhari) tidak menyebutkannya selain secara mu’allaq sebagaimana dalam biografinya di Tahdziibut tahdziib, wallahu a’lam.”)

Catatan:

Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Beliau baru datang dari Mekah, dan disebutkan hal yang serupa dengan kisah tersebut, namun di sana tidak disebutkan sebab turunnya ayat. Sedangkan kisah ini menunjukkan bahwa Beliau yang pergi ke tempat ibadah mereka. Lalu bagaimanakah menggabungnya? Menurut Syaikh Muqbil, bahwa Abdullah bin Salam ketika telah masuk Islam saat ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pergi ke kumpulan orang-orang Yahudi, namun mereka tidak mengetahui keislamannya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka, Beliau berkata kepada mereka apa yang Beliau katakan, wallahu a’lam. Jika penggabungan ini diridhai, atau Allah membukakan kepada hati anda penggabungan yang lebih baik darinya, jika tidak maka dikuatkan hadits yang disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, terlebih ‘Auf bin Malik menurut al Waaqidiy, masuk Islam pada perang Khaibar, yang lain berpendapat, bahwa ia hadir pada penaklukkan Mekah, sedangkan menurut Ibnu Sa’ad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara ‘Auf bin Malik dengan Abud Dardaa’ (dari Al Ishaabah juz 3 hal. 43). Dalam Al Istii’aab, bahwa perang yang dihadirinya pertama kali adalah Khaibar, juz 3 hal. 131 dengan Al Ishaabah. Dalam Ath Thabaqaat juz 7 qaaf 2, bahwa ‘Auf bin Malik Al Asyja’i masuk Islam sebelum peristiwa Hunain dan hadir pada saat perang Hunanin sampai selesai. Dalam Al Mustadrak juz 3 hal. 546 dari Al Waaqidiy sama dengan yang disebutkan di sini, sehingga yang tampak adalah tidak sahnya hadits di atas, wallahu a’lam. Demikianlah menurut Syaikh Muqbil).

[26] Yakni beritahukanlah kepadaku jika sekiranya Al Qur’an dari sisi Allah, dan kebenarannya disaksikan oleh orang-orang Ahli Kitab yang mendapat taufiq, dimana mereka memiliki sesuatu yang dengannya mereka dapat mengetahui kebenaran, lalu mereka beriman kepadanya sehingga sesuailah berita para nabi dan para pengikutnya yang mulia, namun kamu wahai orang-orang yang jahil dan sesat malah bersikap sombong?

[27] Yang dimaksud dengan seorang saksi dari Bani Israil ialah Abdullah bin salam. Ia menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah memperhatikan bahwa di antara isi Al Quran ada yang sesuai dengan Taurat, seperti ketauhidan, janji dan ancaman, kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adanya kehidupan akhirat dan sebagainya.

[28] Termasuk kezaliman adalah sombong terhadap yang hak setelah mengetahuinya.

[29] Menolak kebenaran lagi menentangnya.

[30] Ada pula yang menafsirkan dengan “beriman.”

[31] Maksud ayat ini ialah bahwa orang-orang kafir itu mengejek orang-orang Islam dengan mengatakan, kalau sekiranya Al Quran ini benar tentu kami lebih dahulu beriman kepadanya daripada mereka itu, yaitu orang-orang miskin dan lemah seperti Bilal, ‘Ammar, Suhaib, Habbab radhiyallahu anhum dan lain-lain. Padahal siapakah yang lebih bersih jiwanya dan sempurna akalnya daripada orang-orang mukmin itu? Ucapan yang muncul dari mereka ini, mereka maksudkan untuk menghibur diri mereka seperti halnya orang yang tidak mendapatkan sesuatu lalu segera mencelanya.

[32] Ini sebab mereka berkata seperti itu, yakni karena mereka tidak mendapat petunjuk dari Al Qur’an ini dan kehilangan pemberian yang paling besar serta harapan yang paling agung, maka mereka berkata bahwa Al Qur’an adalah dusta, padahal ia adalah kebenaran yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya; yang sesuai dengan kitab-kitab samawi (dari langit), khususnya kitab samawi yang paling lengkap dan paling utama setelah Al Qur’an yaitu Taurat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam yang menjadi petunjuk dan rahmat bagi Bani Israil sehingga mereka memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.

[33] Yakni membenarkan kitab-kitab yang terdahulu, ia (Al Qur’an) menjadi saksi terhadap kebenaran kitab-kitab itu dan ia (Al Qur’an) dibenarkan pula oleh kitab-kitab sebelumnya.

[34] Agar mudah diterima dan mudah dipelajari.

[35] Yang menzalimi diri mereka dengan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan jika mereka tetap terus di atasnya, yaitu diberi peringatan dengan azab yang buruk.

[36] Baik dalam beribadah kepada Tuhan mereka maupun dalam memberikan manfaat kepada manusia, yaitu diberi kabar gembira dengan pahala yang banyak, di dunia dan akhirat.

[37] Istiqamah ialah teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal saleh.

[38] Yakni mereka yang mengakui Tuhan mereka, menyaksikan keesaan-Nya dan menaati-Nya serta konsisten di atasnya selama mereka masih hidup, maka tidak ada kekhawatiran atas mereka terhadap keburukan yang ada di hadapan mereka dan tidak pula mereka bersedih hati terhadap yang mereka tinggalkan di belakang mereka.

[39] Mereka tidak ingin pindah darinya dan mencari gantinya. Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar (ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka). Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar. Allahumma innaa nas’alukal jannah wa na’uudzu bika minan naar. Amin Yaa Rabbal ‘alamiin.

[40] Berupa iman yang menghendaki amal saleh dan istiqamah di atasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *