Tafsir Al Mu’minun Ayat 62-77

By | Maret 28, 2013

Ayat 62-77: Penjelasan keadaan kaum musyrik yang mendustakan dan berpaling dari iman serta terus-menerus di atas kekafiran, sebab mereka bersikap seperti itu, dan azab yang diancamkan kepada mereka.

وَلا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (٦٢) بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِنْ هَذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِنْ دُونِ ذَلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ (٦٣) حَتَّى إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِمْ بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ (٦٤) لا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ إِنَّكُمْ مِنَّا لا تُنْصَرُونَ (٦٥) قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَى عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ (٦٦)مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ (٦٧) أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الأوَّلِينَ (٦٨) أَمْ لَمْ يَعْرِفُوا رَسُولَهُمْ فَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ (٦٩) أَمْ يَقُولُونَ بِهِ جِنَّةٌ بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ (٧٠)وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ  (٧١) أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (٧٢) وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (٧٣) وَإِنَّ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ عَنِ الصِّرَاطِ لَنَاكِبُونَ (٧٤)وَلَوْ رَحِمْنَاهُمْ وَكَشَفْنَا مَا بِهِمْ مِنْ ضُرٍّ لَلَجُّوا فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (٧٥)وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ (٧٦) حَتَّى إِذَا فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا ذَا عَذَابٍ شَدِيدٍ إِذَا هُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ           (٧٧)

Terjemah Surat Al Mu’minun Ayat 62-77

62. [1]Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya[2], dan pada sisi Kami ada suatu catatan yang menuturkan dengan sebenarnya[3], dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)[4].

63. [5]Tetapi, hati mereka (orang-orang kafir) itu dalam kebodohan dari (memahami Al Qur’an) ini, dan mereka mempunyai (kebiasaan banyak mengerjakan) perbuatan-perbuatan lain (buruk) yang terus mereka kerjakan[6].

64. Sehingga apabila Kami timpakan siksaan[7] kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di antara mereka[8], seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong.

65. Janganlah kamu berteriak-teriak meminta tolong pada hari ini! Sungguh, kamu tidak akan mendapat pertolongan dari kami.

66. [9]Sungguh, ayat-ayat-Ku (Al Qur’an) selalu dibacakan kepada kamu[10], tetapi kamu selalu berpaling ke belakang[11],

 

67. Dengan menyombongkan diri[12] dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya (Al Qur’an dan Nabi) pada waktu kamu bercakap-cakap pada malam hari[13].

68. Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah)[14], atau apakah karena telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu[15]?

69. Ataukah mereka tidak mengenal Rasul mereka (Muhammad), karena itu mereka mengingkarinya[16]?

70. Atau mereka berkata, “Orang itu (Muhammad) gila.” Padahal, dia telah datang membawa kebenaran kepada mereka[17], tetapi kebanyakan mereka membenci kebenaran[18].

71. [19]Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya[20]. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu[21].

72. Atau engkau (Muhammad) meminta imbalan kepada mereka[22]? Sedangkan imbalan dari Tuhanmu[23] lebih baik, karena Dia pemberi rezeki yang terbaik.

73. [24]Dan sungguh engkau benar-benar telah menyeru mereka kepada jalan yang lurus[25].

74. Dan sungguh orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat[26] benar-benar telah menyimpang dari jalan (yang lurus)[27].

75. [28]Dan sekiranya mereka Kami kasihani, dan Kami lenyapkan malapetaka yang menimpa mereka[29], pasti mereka akan terus menerus terombang-ambing dalam kesesatan[30] mereka.

76. [31]Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka[32], tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri[33].

77. Sehingga apabila Kami bukakan untuk mereka pintu azab yang sangat keras[34], seketika itu mereka menjadi putus asa[35].


[1] Setelah Allah menyebutkan kesegeraan mereka terhadap kebaikan, mungkin ada yang mengira bahwa apa yang diminta dari mereka dan dari selain mereka adalah perkara yang tidak disanggupi atau perkara berat, maka Allah menerangkan dalam ayat di atas, bahwa Dia tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

[2] Yakni sesuai kemampuannya dan tidak menghabiskan semua kekuatannya karena rahmat dan hikmah-Nya agar manusia semua dapat melakukannya. Contoh dalam hal ini adalah dalam masalah shalat, apabila seseorang tidak sanggup shalat sambil berdiri, maka ia boleh shalat sambil duduk, dan apabila sesorang tidak sanggup berpuasa, ia boleh berbuka.

[3] Maksudnya, kitab tempat malaikat-malaikat menuliskan perbuatan-perbuatan seseorang, baik atau buruk, yang akan dibacakan pada hari kiamat (lihat surat Al-Jatsiyah ayat 29).

[4] Oleh karena itu pahala kebaikan mereka tidak dikurangi dan keburukannya tidak ditambah.

[5] Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa hati orang-orang kafir berada dalam kebodohan dan kezaliman, kelalaian dan berpaling yang menghalangi mereka dari sampai kepada Al Quran, sehingga mereka tidak mengambil petunjuk darinya, dan sedikit pun dari Al Qur’an tidak sampai ke hati mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup,– Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya,” (Terj. Al Israa’: 45-46) Oleh karena hati mereka berada dalam kebodohan terhadap Al Qur’an, sehingga mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan kufur dan menentang syara’ yang mengharuskan mereka diazab.

[6] Oleh karena itu, janganlah mereka mengira bahwa azab tidak akan menimpa mereka, karena Allah memberi tangguh mereka agar bertambah dosa mereka sehingga mereka mendapatkan balasan yang sempurna.

[7] Maksudnya azab di akhirat.

[8] Yaitu orang-orang kaya dan para tokoh mereka.

[9] Mungkin seseorang bertanya, “Apa sebab yang membuat mereka seperti ini keadaannya?”

[10] Agar kamu beriman dan mendatanginya, namun ternyata kamu tidak melakukannya.

[11] Padahal sekiranya kamu mengikuti Al Qur’an, niscaya kamu akan maju ke depan. Sebaliknya, jika kamu berpaling darinya, maka kamu akan mundur ke belakang dan berada dalam kedudukan yang rendah.

[12] Ada yang berpendapat, bahwa maksudnya mereka menyombongkan diri dengan merasa bahwa mereka lebih berhak terhadap baitullah dan tanah haram, sedangkan selain mereka tidak berhak, sehingga mereka lebih utama daripada orang lain.

[13] Jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang mendustakan adalah berpaling dari Al Quran dan satu sama lain saling mengingatkan agar tidak mendengarkan Al Qur’an dan menimbulkan kegaduhan ketika Al Qur’an dibacakan, lihat Fushshilat: 26. Mereka berkumpul membicarakan yang buruk, sehingga sudah sepantasnya mereka ditimpa azab, dan jika azab itu sudah datang, maka mereka tidak memiliki penolong yang menolong mereka dari azab serta ditambah mendapat celaan karena perbuatan itu seperti yang disebutkan pada ayat 64 dan 65.

[14] Yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya jika mereka mau mentadabburi, maka mereka tentu akan beriman, akan tetapi musibahnya adalah mereka berpaling darinya. Ayat ini menunjukkan, bahwa mentadabburi Al Qur’an akan membawa seseorang kepada kebaikan dan melindungi dari keburukan, dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk mentadabburinya melainkan karena hati mereka terkunci.

[15] Yakni apakah yang menghalangi mereka beriman karena mereka kedatangan rasul dan kitab yang tidak datang kepada nenek moyang mereka, lalu mereka lebih ridha menempuh jalan nenek moyang mereka dan menentang semua yang datang menyelisihinya, sehingga mereka mengatakan seperti yang Allah beritakan, “Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.– (Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Terj. Az Zukhruf: 23-24)

[16] Yakni apakah alasan mereka mengingkarinya adalah karena Rasul tersebut (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mereka kenal, mereka katakan, “Kami tidak mengenalnya dan kami tidak mengetahui kejujurannya sehingga biarkan kami memperhatikan keadaannya dan bertanya kepada orang yang berilmu.” Bukankah tidak demikian? Bukankah mereka kenal Rasul mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terkenal jujur, amanah, dan berakhlak mulia, bahkan sebelum Beliau diutus, mereka menggelari Beliau dengan Al Amin (orang yang terpercaya). Oleh karena itu, mengapa mereka tidak membenarkannya ketika Beliau membawa kebenaran yang agung dan kejujuran yang jelas?

[17] Yaitu Al Qur’an yang di dalamnya menerangkan tauhid dan ajaran-ajaran yang mulia yang dibenarkan oleh akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Lantas, mengapa Beliau disebut orang gila? Padahal Beliau berada di atas ketinggian dalam hal ilmu, akal dan akhlak mulia.

[18] Inilah alasan mereka menolak kebenaran, yaitu benci kepada kebenaran. Kebenaran yang paling agung adalah beribadah hanya kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain Allah. Oleh karenanya, ketika mereka diajak kepadanya, mereka merasa heran dan berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Terj. Shaad: 5)

[19] Jika seorang bertanya, “Mengapa kebenaran itu tidak selalu sesuai dengan keinginan mereka agar mereka beriman dan segera tunduk?” Maka jawabannya adalah ayat di atas.

[20] Bagaimana tidak binasa dan hancur jika yang satu berkeinginan begini, sedangkan yang satu lagi berkeinginan begitu. Di samping itu, hawa nafsu atau keinginan mereka cenderung untuk bersenang-senang tidak memperhatikan maslahat kedepan, pengetahuan mereka terbatas, bahkan nafsu itu biasanya menyuruh kepada kejahatan dan kezaliman, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Allah. Oleh karena itu, jika kebenaran itu menuruti keinginan mereka tentu hancurlah dunia.

[21] Ada pula yang mengartikan, “Bahkan Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan dan kemuliaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” Sehingga maksudnya, jika mereka mau mengikuti Al Qur’an, maka keadaan mereka menjadi tinggi, mulia dan terhormat. Al Qur’an merupakan nikmat besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya, namun mereka membalasnya dengan menolak dan berpaling, maka bukannya mereka menjadi tinggi dan terhormat, bahkan menjadi rendah dan terhina, lagi memperoleh kerugian.

[22] Maksudnya, apakah yang menghalangi mereka untuk mengikutimu adalah karena engkau meminta imbalan dari mereka? Padahal engkau tidak meminta imbalan dari mereka. Dengan demikian, mereka tidak memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menolak yang hak.

[23] Yang dimaksudkan imbalan dari Allah adalah rezeki yang dianugrahkan Allah di dunia, dan pahala di akhirat.

[24] Di ayat-ayat sebelumnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan sebab-sebab yang mengharuskan mereka untuk beriman, demikian pula menyebutkan penghalangnya serta menerangkan batilnya penghalang tersebut satu persatu. Dia menerangkan, bahwa diri mereka yang jahil yang menyebabkan mereka tidak memahami Al Qur’an, tidak mau memikirkan isi Al Qur’an, mengikuti nenek moyang mereka yang salah, ditambah dengan mengatakan kata-kata yang keji terhadap rasul mereka. Selanjutnya, Allah menyebutkan perkara-perkara yang dapat membuat mereka beriman, yaitu mentadaburi Al Qur’an, menerima nikmat Allah, melihat pribadi rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa Beliau sama sekali tidak meminta upah atas seruannya, bahkan ajakan Beliau manfaat dan maslahatnya untuk mereka, dan bahwa Beliau mengajak mereka ke jalan yang lurus, mudah ditempuh oleh semua orang, menyampaikan kepada maksud dan tujuan, lurus dalam ‘aqidahnya dan mudah diamalkan. Seruannya kepada mereka ke jalan yang lurus mengharuskan orang yang menginginkan yang hak untuk mengikutinya, karena kebenarannya didukung oleh akal dan fitrah serta sejalan dengan maslahat. Oleh karena itu, jalan manakah yang mereka tempuh jika tidak mengikuti orang yang berada di atas jalan yang lurus? Jelas sekali, jika mereka menempuh jalan selainnya, maka mereka telah menyimpang dari jalan yang lurus sehingga mereka tersesat.

[25] Yaitu agama Islam, di mana jika diamalkan ajaran-ajarannya, maka akan dapat menyampaikan seseorang kepada Allah dan kepada surga-Nya.

[26] Yakni tidak beriman kepada kebangkitan, pahala dan siksa.

[27] Demikian pula semua orang yang menyelisihi yang hak lainnya, pasti jalannya menyimpang; tidak lurus.

[28] Ayat ini menerangkan betapa kerasnya pengingkaran mereka dan betapa membangkangnya mereka. Apabila mereka ditimpa bahaya, mereka berdoa kepada Allah agar dihilangkan bahaya itu dan berjanji akan beriman, namun ternyata ketika Allah menghilangkan musibah itu, mereka masih tetap di atas kesesatannya, sebagaimana yang Allah sebutkan. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat wajar jika bahaya itu tidak dihilangkan. Hal ini sebagaimana keadaan mereka ketika berada di kapal lalu tertimpa bahaya, mereka pun berdoa kepada Allah agar dihilangkan bahaya itu, tetapi ketika Dia menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka kembali lagi berbuat syirk, kekufuran dan kemaksiatan lainnya.

[29] Kaum musyrik pernah mengalami kelaparan, karena tidak datangnya bahan makanan dari Yaman ke Mekah, sedangkan Mekah dan sekitarnya dalam keadaan paceklik, sehingga bertambah melaratlah mereka di waktu itu.

[30] Yang dimaksud dengan thughyaan (keterlaluan/kesesatan) dalam ayat ini adalah kekafiran yang sangat, kesombongan dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang semuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas perikemanusiaan.

[31] Ibnu Jarir berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Tumailah, yaitu Yahya bin Wadhih dari Al Husain (asalnya adalah Al Hasan, namun salah tulis) dari Yazid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas ia berkata, “Abu Sufyan datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, aku bertanya kepadamu dengan nama Allah dan karena hubungan kerabat. Sesungguhnya kami telah memakan ‘ilhiz,” yakni wabar (bulu unta) dan darah.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri.” (Al Mu’minun: 76). Syaikh Muqbil berkata, “Hadits ini para perawinya adalah tsiqah selain guru Ath Thabari, yaitu Muhammad bin Humaid Ar Raaziy. Dia adalah dha’if, akan tetapi hadits ini telah datang dari beberapa jalan selain ini. Ibnu Hatim meriwayatkan sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal. 251, dan Nasa’i sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir, dan Ibnu Hibban hal. 434. Di sana pada masing-masing mereka ada Ali bin Al Husain bin Waqid, dan dia didha’ifkan. Hakim juz 2 hal. 394 meriwayatkan juga, demikian pula Al Waahidiy dalam Asbaabunnuzul, dan di sana pada masing-masing mereka ada Muhammad bin Musa bin Hatim. Muridnya Al Qasim As Sayyaariy berkata, “Saya tidak berani menjaminnya.” Ibnu Abi Sa’daan berkata, “Muhammad bin ‘Ali Al Haafizh berpandangan buruk terhadapnya.” Sebagaimana dalam Lisanul Mizan, adapun Hakim, maka ia menshahihkannya dan didiamkan oleh Adz Dzahabiy. Hadits ini dengan keseluruhan jalannya yang sampai kepada Al Husain bin Waqid adalah shahih lighairih.” Wallahu a’lam. Syaikh Muqbil juga berkata, “Kemudian saya menemukan syahidnya dalam riwayat Baihaqi di kitab Dalaa’ilunnubuwwah (2/338).”

[32] Yang dimaksud dengan azab tersebut adalah kemarau panjang yang menimpa mereka, hingga mereka menderita kelaparan, agar mereka kembali kepada Allah dan mau beriman (Lihat ayat 75). Ada pula yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah kekalahan mereka pada peperangan Badar, di mana dalam peperangan itu orang-orang yang terkemuka dari mereka banyak terbunuh atau tertawan

[33] Yakni tidak berharap kepada Allah dengan berdoa dan merasa tidak butuh kepada-Nya. Bahkan musibah itu berlalu bagi mereka, lalu hilang seakan-akan belum pernah menimpa mereka, sehingga mereka pun tetap di atas kekafiran dan kesesatannya, padahal di hadapan mereka ada azab yang tidak mungkin ditolak sebagaimana diterangkan dalam ayat selanjutnya.

[34] Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, bahwa maksudnya adalah terbunuhnya mereka pada perang Badar. Ada pula yang berpendapat, bahwa maksudnya adalah kematian, dan ada pula yang berpendapat, bahwa maksudnya adalah tibanya kiamat.

[35] Dari semua kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya mereka berhati-hati terhadap azab yang keras yang tidak mungkin ditolak, di mana azab tersebut bukan azab biasa yang terkadang dicabut-Nya azab itu dari mereka, seperti azab-azab duniawi yang tujuannya Allah memberikan ta’dib (pelajaran) kepada hamba-hamba-Nya, seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Terj. Ar Ruum: 41)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *