Tafsir An Nisa Ayat 64-74

By | Januari 18, 2013

Ayat 64-65: Keimanan yang hakiki adalah dengan berhukum kepada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤) فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥

Terjemah Surat An Nisa Ayat 64-65

64.[1] Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati[2] dengan izin Allah[3]. Sungguh[4], sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya[5] datang kepadamu (Muhammad)[6], lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka[7], niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

65.[8] Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya[9].

Ayat 66-70: Kemudahan beban syariat dan pahala bagi orang-orang yang melaksanakannya

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ  خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (٦٦) وَإِذًا لآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا  (٦٧) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (٦٨) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (٦٩)ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا (٧٠

Terjemah Surat An Nisa Ayat 66-70

66. Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka[10]. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan[11], tentu hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)[12],

67. dan jika demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami[13],

68. Dan pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus[14].

69.[15] Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad)[16], maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para shiddiiqiin[17], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh[18]. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya[19].

70. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah[20], dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui[21].

Ayat 71-74: Pengarahan dalam jihad (taktik, tujuan dan adab perang dalam Islam), keharusan siap siaga terhadap musuh, peringatan terhadap orang-orang yang dapat mengendorkan semangat kaum mukmin, dan dorongan berjihad

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا (٧١) وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا (٧٢) وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧٣) فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (٧٤

Terjemah Surat An Nisa Ayat 71-74

71. Wahai orang-orang yang beriman! Bersiap siagalah kamu[22], dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok[23], atau majulah bersama-sama (serentak)![24]

72. Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran)[25]. Lalu jika kamu ditimpa musibah[26] dia berkata, “Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka.”[27]

73. Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia dari Allah[28], tentulah dia mengatakan[29] seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia[30], “Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang besar (pula)”[31].

74. Karena itu, hendaklah orang-orang yang menjual kehidupan dunia untuk kehidupan akhirat[32] berperang di jalan Allah[33]. Barang siapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya[34].


[1] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyampaikan berita yang isinya terdapat perintah dan dorongan untuk menaati Rasul serta tunduk kepadanya, menyampaikan bahwa maksud diutusnya rasul tidak lain kecuali untuk ditaati dan dimuliakan. Dalam ayat ini terdapat dalil ma’shumnya para rasul dalam semua yang mereka sampaikan dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dalam semua yang mereka perintahkan dan yang mereka larang. Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan kita menaati mereka secara mutlak. Jika tidak ma’shhum, tentu kita tidak diperintahkan menaati secara mutlak.

[2] Bukan untuk didurhakai dan diselisihi.

[3] Yakni ketaatan yang dilakukan seseorang adalah berasal dari qadha’ Allah dan qadar-Nya. Di ayat ini adanya penetapan terhadap iman kepada qadha’ dan qadar, anjuran untuk meminta pertolongan kepada Allah dan terdapat penjelasan bahwa seseorang tidak mungkin dapat menaati Rasul jika Allah tidak membantunya.

[4] Pada ayat ini, Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengabarkan tentang kepemurahan-Nya dan seruan-Nya kepada orang yang mengerjakan maksiat agar sadar, beristighfar dan bertobat.

[5] Dengan berhakim kepada selain Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

[6] Menyadari kesalahan.

[7] Yakni sewaktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, adapun setelah wafat, maka tidak boleh meminta kepada Beliau sebagai wasilah (perantara) kepada Allah, bahkan yang demikian adalah syirk. Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya meminta didoakan dari orang yang saleh yang masih hidup.

[8] Imam Bukhari meriwayatkan dari Urwah ia berkata: Zubair bertengkar dengan seorang Anshar dalam masalah pengairan air di tanah berbatu hitam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siramilah kebunmu wahai Zubair, kemudian alirkanlah ke tetanggamu.” Orang Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, (engkau menetapkan begitu) karena dia adalah putera bibimu.” Maka merahlah wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersabda, “Alirkanlah wahai Zubair, lalu tahanlah sampai kembali ke pembatas (penuh), kemudian alirkanlah ke tetanggamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hak Zubair secara sempurna dalam ketegasan hukum tersebut ketika Beliau dibuat marah oleh orang Anshar, padahal Beliau telah mengisyaratkan dengan memerintahkan hal yang di sana terdapat kelapangan bagi keduanya. Zubair berkata, “Saya kira ayat ini, “Fa laa wa rabbika laa yu’minuuna…dst.” tidaklah turun kecuali berkenaan dengan itu.”

[9] Dengan dada yang lapang, jiwa yang tenang dan ketundukan baik zahir maupun batin. Berhukum kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keislamannya, tidak adanya rasa keberatan di hati merupakan konsekwensi keimanannya dan menerima sepenuh hati merupakan konsekwensi ihsannya. Jika dalam dirinya ada semua ini, maka sempurnala tingkatan agamanya. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena tidak suka atau menganggap ada hukum yang lebih baik daripadanya, atau menghina hukum Allah, maka dia kafir, dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah namun dia mengakui bahwa hukum Allah yang benar dan sikapnya salah, maka ia seperti pelaku maksiat lainnya (tidak kafir, namun berdosa besar dan dihukumi zalim atau fasik).

[10] Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk keadaan hamba menyampaikan bahwa jika diperintahkan kepada hamba beban-beban yang berat seperti membunuh dirinya dan keluar dari kampung halaman, niscaya tidak ada yang melakukannya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Oleh karena itu, hendaknya mereka memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya karena perintah-perintah-Nya yang ringan; yang mudah dikerjakan setiap orang. Perhatikanlah shalat lima waktu yang tidak memakan waktu yang lama dengan pahala besar yang dijanjikan, shalat-shalat sunat, dzikrullah, dsb. semua ini ringan dikerjakan.

[11] Yakni menaati perintah yang diberikan secara bertahap, lalu mereka mengerahkan kemampuannya untuk dapat melakukannya dan menyempurnakannya, tidak langsung mengerjakan sesuatu yang mereka belum sanggup melakukannya. Inilah keadaan yang patut dimiliki seorang hamba, yakni memperhatikan perintah yang mesti dilakukannya, kemudian dia menyempurnakannya, lalu meningkat kepada perintah selanjutnya sedikit demi sedikit hingga mencapai sesuatu yang ditaqdirkan baginya berupa ilmu dan amal dalam urusan agama dan dunia. Berbeda dengan orang yang langsung melihat kepada perkara yang belum bisa dicapainya dan belum diperintahkannya, maka biasanya ia tidak dapat melakukannya karena perhatiannya yang tidak fokus dan munculnya kemalasan.

[12] Yakni membuat iman mereka semakin bertambah. Hal itu, karena Allah akan meneguhkan iman orang-orang mukmin karena ketaatan yang mereka kerjakan. Allah akan meneguhkan mereka di dunia, seperti ketika adanya cobaan dengan perintah, larangan dan adanya musibah, maka mereka dapat melaksanakan perintah itu, menjauhi larangan dan menyikapi musibah dengan sabar dan ridha serta bersyukur terhadap nikmat yang diberikan. Demikian pula Allah memberikan keteguhan dalam agama (istiqamah), ketika wafat dan ketika berada di kubur. Di samping itu, seorang hamba yang mengerjakan perintah itu, maka akan terbiasa melakukannya, membuatnya tidak merasa terbebani, bahkan senang kepadanya sehingga hal ini membantunya untuk tetap di atas ketaatan.

[13] Berupa surga.

[14] Ditunjukkan kepada jalan yang lurus merupakan balasan umum setelah sebelumnya disebutkan pahala secara khusus. Hal itu, karena tingginya hidayah kepada jalan yang lurus, di mana di dalamnya seseorang mengetahui yang hak (benar), mencintainya, mengutamakannya dan mengamalkannya. Bahkan kebahagiaan dan keberuntungan terletak di atasnya. Oleh karena itu, barang siapa yang ditunjukkan kepada jalan yang lurus, maka berarti ia telah diberi taufiq kepada semua kebaikan dan dihindarkan dari segala keburukan dan bahaya.

[15] Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Ada seorang lai-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri, lebih aku cintai daripada keluargaku dan lebih aku cintai daripada anakku. Pernah ketika berada dalam rumah, aku ingat dirimu, maka aku tidak sabar sampai dapat melihat dirimu. Namun, jika aku mengingat kematian yang akan menimpaku dan menimpamu, maka aku pun tahu bahwa jika engkau masuk ke dalam surga, maka engkau akan diangkat bersama para nabi, dan jika aku masuk surga, aku khawatir tidak bisa melihatmu.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab apa-apa sampai turun kepada Beliau ayat di atas. (Al Hafizh Abu Abdillah Al Maqdisi juga meriwayatkan hadits ini dalam Shifatul Jannah, dan berkata, “Saya tidak melihat ada masalah dalam isnadnya.”)

[16] Yakni barang siapa yang menaati Allah dan rasul-Nya sesuai keadaannya dan melakukan ukuran yang wajib baginya, baik laki-laki maupun wanita.

[17] Shiddiqin adalah orang-orang yang sangat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul. Menurut Syaikh As Sa’diy, bawa shiddiqiin adalah orang-orang yang sempurna pembenaran mereka kepada semua yang dibawa para rasul, mereka mengetahui yang hak, membenarkannya dengan yakin, melakukannya baik dengan kata-kata, perbuatan maupun keadaan, dan mereka mengajak manusia kepada Allah.

[18] Selain yang disebutkan itu.

[19] Di mana mereka dapat melihat dan saling menziarahi, meskipun derajat antara masing-masingnya berbeda.

[20] Yakni karena karunia Allah yang diberikan kepada mereka. Hal itu, karena ketaatan mereka tidak dapat mencapainya.

[21] Terhadap pahala di akhirat, maka percayalah dengan berita yang disampaikan-Nya.

[22] Termasuk ke dalam siap siaga adalah menyiapkan sebab yang dapat digunakan untuk memerangi orang-orang kafir, menolak makar mereka dan melemahkan kekuatan mereka, misalnya membuat benteng pertahanan dan parit, membuat senjata, latihan melempar panah atau menggunakan senjata dan latihan menunggang kuda atau kendaraan serta latihan kemiliteran. Ayat ini sama dengan ayat 60 surat Al Anfal, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

[23] Seperti mengirim sariyyah (pasukan kecil).

[24] Kedua hal ini (berangkat berkelompok atau bersama-sama) dengan mempertimbangkan maslahat.

[25] Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang lemah iman, namun ada yang mengatakan bahwa mereka ini adalah orang-orang munafik. Yang rajih adalah yang pertama, yakni orang-orang mukmin yang lemah iman berdasarkan kata-kata “di antara kamu“, yang tertuju kepada kaum mukmin, dan kata-kata “seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia“, sedangkan antara orang-orang kafir, orang-orang musyrik dan orang-orang munafik tidak memiliki hubungan kasih sayang dengan orang-orang mukmin. Di samping itu, karena kaum mukmin ada dua golongan; yang kuat imannya dan yang lemah imannya. Orang mukmin yang kuat imannya membuat mereka berani berjihad, sedangkan orang mukmin yang masih lemah imannya tidak berani berjihad. Dari perkataan mereka Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka” dapat diketahui bahwa yang dicita-citakan oleh orang-orang yang berat berjihad itu tidak lain adalah kehidupan dunia dan kesenangannya. Cita-cita seperti ini tidak lain karena kurangnya ilmu dan akal mereka, dan tidak mengetahuinya tentang hakikat kehidupan dunia.

[26] Terbunuh atau kalah dalam pertempuran.

[27] Kata-kata ini diucapkan karena kelemahan akal dan imannya, di mana ia mengira bahwa tidak berangkat jihad yang di sana seseorang bisa mendapatkan musibah merupakan kenikmatan, padahal nikmat yang sesungguhnya adalah ketika seseorang mendapat taufiq untuk dapat menjalankan ketaatan yang besar ini, di mana di dalamnya menguatkan iman, menyelamatkan hamba dari siksa dan kerugian, memperoleh pahala yang besar dan keridaan Ar Rahman. Adapun duduk tidak berangkat berjihad, meskipun ada istirahatnya namun hanya sebentar, dan setelahnya adalah keletihan yang panjang, penderitaan yang besar dan tidak memperoleh apa yang diperoleh para mujahid.

[28] Yaitu kemenangan atau ghanimah.

[29] Dengan nada penyesalan.

[30] Dia berharap dirinya hadir dalam peperangan tersebut agar memperoleh ghanimah, dan tidak ada yang diinginkannya selain ghanimah saja tidak lebih, seakan-akan dirinya bukan golongan kamu wahai kaum mukmin, dan seakan-akan tidak ada hubungan keimanan antara kamu dengan dia. Padahal keimanan itu menghendaki pemiliknya agar bersama-sama dengan kaum mukmin yang lain memikul beban demi mendatangkan maslahat dan menghindarkan madharat, merasa senang ketika ketika saudaranya memperoleh kemenangan dan merasa sedih ketika saudaranya tidak memperolehnya serta berusaha bersama-sama kepada sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan agama dan dunia mereka. Namun ternyata yang terlintas dalam hatinya hanya dunia dan kesenangannya, tidak memikirkan masalah tadi. Tetapi karena kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, Dia tidak membuat mereka berputus asa dari rahmat-Nya serta tidak menutup pintunya, bahkan Dia tetap mengajaknya menutupi kekurangan itu dan menyempurnakan dirinya. Oleh karena itu, di ayat selanjutnya Dia mengajak mereka memperbaiki dirinya dengan berbuat ikhlas dan berangkat untuk berjihad di jalan-Nya.

[31] Memperoleh banyak ghanimah.

[32] Yakni orang-orang mukmin yang mengutamakan kehidupan akhirat atas kehidupan dunia ini. Kepada merekalah ditujukan firman Allah ini, mereka telah menyiapkan diri mereka untuk berjihad melawan musuh karena keimanan yang sempurna dalam diri mereka yang menghendaki untuk melakukannya. Adapun orang-orang yang merasa berat untuk berjihad, maka tidak ada kepedulian terhadap mereka yang berjihad, baik mereka berangkat atau pun tidak. Hal ini sama seperti yang disebutkan dalam surat Al Israa’ ayat 107, “Katakanlah:Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud” atau yang disebutkan dalam surat Al An’aam ayat 89, “Jika orang-orang itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sama sekali tidak mengingkarinya.

[33] Untuk meninggikan kalimat-Nya.

[34] Baik dengan bertambah keimanannya, mendapatkan ghanimah, pujian yang indah dan pahala yang disiapkan Allah untuk para mujahid berupa surga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *