Tafsir An Nisa Ayat 40-46

By | Januari 18, 2013

Ayat 40-42: Keadilan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya, serta ancaman bagi orang yang mendurhakai-Nya dan menyelisihi perintah-Nya

إِنَّ اللَّهَ لا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا (٤٠)فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا (٤١)يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الأرْضُ وَلا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا (٤٢)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 40-42

40.[1] Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah[2], dan jika ada kebajikan sekecil zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya[3] dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya[4].

41. Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul)[5] dari setiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu[6].

42. Pada hari itu, orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, berharap sekiranya mereka diratakan dengan tanah[7], dan mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apapun dari Allah[8].

Ayat 43: Menerangkan tahapan dalam pengharaman khamr, kemudahan Islam dalam mensyariatkan tayammum sebagai ganti dari wudhu’, dan menerangkan haramnya shalat, membaca Al Qur’an, dan berdiam di masjid bagi orang yang junub dan mabuk

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا                   (٤٣)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 43

43. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat[9], ketika kamu dalam keadaan mabuk[10], sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu menghampiri masjid) ketika kamu dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja[11], sebelum kamu mandi. Adapun jika kamu sakit[12] atau sedang dalam perjalanan[13] atau sehabis buang air[14] atau kamu telah menyentuh perempuan[15], sedangkan kamu tidak mendapatkan air[16], maka bertayammumlah kamu[17] dengan debu yang baik (suci)[18]; usaplah wajahmu dan tanganmu[19] dengan (debu) itu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun[20].

Ayat 44-46: Di antara penyelewengan orang-orang Yahudi dan permusuhan mereka kepada kaum mukmin

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (٤٤) وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللَّهِ نَصِيرًا (٤٥) مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا (٤٦

Terjemah Surat An Nisa Ayat 44-46

44.[21] Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian dari Al kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka menghendaki agar kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).

45. Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu)[22].

46.[23] (Yaitu) di antara orang Yahudi[24], yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya[25]. Mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya[26].” Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah, sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa pun[27]. Dan (mereka mengatakan), “Raa’ina”[28] dengan memutarbalikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan[29], “Kami mendengar dan patuh, dengarlah[30], dan perhatikanlah kami[31],” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat[32], tetapi Allah melaknat mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali.


[1] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitakan tentang sempurnanya keadilan Allah dan karunia-Nya dan bersihnya Allah dari kezaliman baik besar maupun kecil

[2] Zarrah artinya semut yang paling kecil. Oleh karena itu, Dia tidak mengurangi kebaikan seseorang atau menambah keburukan seseorang.

[3] Maksudnya Allah tidak akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar zarrah, bahkan kalau dia berbuat baik, maka pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah menjadi sepuluh sampai tujuh ratus, bahkan lebih dari itu serta akan diberikan pahala yang besar yang tidak dapat diperkirakan oleh seseorang sesuai keadaannya, manfaatnya, keadaan pelakunya dan keikhlasannya..

[4] Yakni dengan menambah pahala melebihi amal yang dilakukan seseorang, diberikan taufik untuk mengerjakan kebaikan dan memberikan kebaikan yang banyak. Termasuk di antaranya adalah memasukkannya ke surga.

[5] Mahkamah tersebut merupakan mahkamah yang paling adil, yang memberikan keputusan adalah Zat yang Maha sempurna ilmu, keadilan dan kebijaksanaan, dan yang menjadi saksi adalah manusia yang paling bersih, yaitu para rasul terhadap umat mereka, belum lagi ditambah dengan pengakuan dari orang yang diberikan keputusan. Pada hari itu, sebagian orang berbahagia memperoleh keberuntungan, kemenangan, kemuliaan dan keberhasilan, dan pada hari itu sebagian lagi mendapatkan kesengsaraan, keninaan, terbukanya aib dan memperoleh azab yang menghinakan.

[6] Seorang Nabi akan menjadi saksi atas perbuatan umatnya, yakni apakah perbuatan mereka mengikuti perintah Allah atau tidak.

[7] Maksudnya mereka terkubur oleh tanah dan menjadi tidak ada.

[8] Bahkan mereka mengiqrarkan apa yang mereka kerjakan; lisan, tangan dan kaki mereka bersaksi. Adapun dalil-dalil yang menerangkan bahwa orang-orang kafir menyembunyikan kekafiran mereka dan mereka menyangkal (mengaku tidak kafir), maka hal itu terjadi di beberapa tempat di hari kiamat, yaitu ketika mereka menyangka bahwa penyangkalan mereka dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah. Ketika mereka mengetahui hakikat yang sebenarnya, anggota badan mereka menjadi saksi, maka ketika itu masalah pun menjadi jelas, dan tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan sesuatu, bahkan tidak ada manfaat dan faedahnya menyembunyikan.

[9] “Mendekati” di sini mencakup mendekati tempat-tempat shalat seperti masjid, dan mencakup perbuatan shalat itu sendiri, yakni tidak boleh orang yang mabuk melakukan shalat dan ibadah karena akalnya tidak sadar dan tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Namun ayat ini sudah mansukh (dihapus) dengan ayat yang mengharamkan khamr (minuman keras) secara mutlak. Khamr diharamkan melalui tahapan-tahapan. Pada mulanya khamr belum haram, kemudian Allah Ta’ala menawarkan keharamannya kepada hamba-hamba-Nya dengan firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Al Baqarah: 219)

Kemudian Allah Subhaanahu wa Ta’aala melarang mereka meminum khmar ketika hendak shalat sebagaimana pada ayat di atas, dan kemudian Allah Ta’ala mengharamkan secara mutlak di setiap waktu dengan firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Terj. Al Ma’idah:90)

[10] Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan larangan melakukan shalat ketika sangat mengantuk, di mana orangnya tidak menyadari lagi apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya. Lebih dari itu, di sana juga terdapat isyarat bahwa sepatutnya bagi orang yang hendak shalat memutuskan segala yang dapat menyibukkan pikirannya, seperti didesak oleh buang air, lapar hendak makan dsb.

[11] Ada pula yang mengartikan “melewati jalan” di sini sebagai orang musafir.

[12] Yang berbahaya jika menggunakan air atau akan bertambah parah sakitnya atau membuat lama sembuhnya meskipun ada air.

[13] Kemudian tertimpa junub atau berhadats, di mana ketika safar biasanya tidak ada air atau ada air namun untuk keperluannya di tengah perjalanan, seperti untuk minum dsb. jika ia meminum air tersebut, ia akan kehausan.

[14] Yakni berhadats.

[15] Imam Syafi’i berdalih dengan ayat ini bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu’, namun menurut Ibnu Abbas, maksud “menyentuh” di ayat ini adalah berjima’. Ulama lain berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudu’ adalah menyentuh karena syahwat, di mana hal itu berkemungkinan besar keluarnya madzi. Di antara pendapat-pendapat tersebut, yang rajih adalah pendapat Ibnu Abbas, wallahu a’lam.

[16] Untuk bersuci dengannya setelah berusaha mencarinya. Ayat ini menunjukkan adanya usaha mencari air.

[17] Berdasarkan keterangan di atas, bahwa Allah Ta’ala membolehkan tayammum dalam dua keadaan:

Ketika tidak ada air, hal ini berlaku mutlak baik ketika safar maupun tidak.

Ketika kesulitan memakai air, seperti karena sakit atau karena lumpuh dan di sana tidak ada orang mengambilkan air untuknya dsb.

[18] Sha’id di ayat tersebut adalah sesuatu yang nampak di atas permukaan bumi, baik ada debunya maupun tidak. Namun ada yang berpendapat bahwa tayammum harus ada debunya, berdasarkan ayat “Fam sahuu biwujuuhikum wa aydiikum minh” (maka usaplah muka dan tanganmu daripadanya), karena jika tidak ada debunya bagaimana mungkin mengusapnya.

[19] Yakni sampai pergelangan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih, dan memukulkan telapak tangan ke tanah cukup sekali saja sebagaimana diterangkan dalam hadits Ammar; untuk muka dan telapak tangan.

Faedah/catatan:

Perlu diketahui, bahwa kaidah kedokteran berjalan di atas tiga perkara:

– Menjaga kesehatan dari segala sesuatu yang membahayakan.

– Menjaga diri dari bahaya

– Menghilangkan bahaya

Ketiga hal ini telah diisyaratkan dalam Al Qur’an.

Menjaga kesehatan dan menjaga diri dari hal yang membahayakan, misalnya dengan adanya perintah makan dan minum serta tidak berlebih-lebihan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga telah membolehkan berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit untuk menjaga kesehatannya.

Adapun menghilangkan bahaya, maka dengan adanya kebolehan dari Allah Ta’ala bagi orang yang ihram, di mana kepalanya terganggu oleh kutu dsb. untuk mencukurnya. Di sana terdapat isyarat untuk menghilangkan (membersihkan) hal yang lebih buruk lagi, yaitu kencing, tahi, muntah, dsb.

[20] Oleh karenanya, dia memberikan banyak kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, di mana seorang hamba tidak kesulitan melakukannya. Di antara maaf dan ampunan-Nya adalah dengan mensyari’atkan kepada umat ini bersuci dengan debu (tayammum) sebagai pengganti air ketika kesulitan menggunakannya. Termasuk maaf dan ampunan-Nya juga adalah dengan membukakan pintu tobat kepada orang-orang yang berdosa dan mengajak mereka kepada-Nya. Dia pun menjanjikan untuk mengampuni mereka. Lebih dari itu, di antara maaf dan ampunan-Nya adalah jika seorang mukmin datang kepada-Nya dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan datang dengan ampunan sepenuh bumi.

[21] Ayat ini merupakan celaan kepada mereka yang telah diberikan al kitab, namun mereka meletakkan kitab tersebut di belakang punggung mereka, mereka lebih memilih kesesatan daripada petunjuk, memilih kekafiran daripada keimanan dan memilih kesengsaraan daripada kebahagiaan. Di dalamnya terdapat peringatan bagi kaum mukmin agar tidak terpedaya oleh mereka dan tidak terjatuh seperti mereka.

[22] Meskipun musuh-musuhmu berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan kamu, namun karena Allah pelindung dan penolong orang-orang mukmin, maka tenanglah! Allah akan menolong kamu terhadap musuh-musuhmu, menerangkan sesuatu yang perlu diwaspadai dari mereka dan membantu kamu melawan musuh-musuhmu.

[23] Di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan contoh kesesatan mereka dan bersikerasnya mereka di atas kesesatan dan pengutamaan mereka terhadap yang batil.

[24] Yakni ulama su’ (buruk) di antara mereka.

[25] Maksudnya adalah mengubah lafaz, arti kata-kata atau mengubah kedua-duanya, atau mengubah tempat, menambah atau mengurangi dsb. Contoh ayat yang mereka ubah adalah tentang sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti inilah keadaan mereka dalam hal ilmu; mereka merubah hakikat yang sebenarnya dan menjadikan yang hak sebagai batil, oleh karenanya mereka sesungguhnya menolak yang hak. Sedangkan keadaan mereka dalam hal amal adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas, mereka mengatakan, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya“. Lebih dari itu, mereka berani berkata buruk di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh dari adab seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

[26] Maksudnya mereka mengatakan “Kami mendengar”, namun hati mereka mengatakan, “Kami tidak mau menuruti.”

[27] Maksudnya mereka mengatakan, “Dengarlah”, tetapi hati mereka mengatakan, “Mudah-mudahan kamu tidak dapat mendengarkan (tuli).” Atau maksudnya, “Dengarlah dari kami sesuatu yang tidak kamu sukai”.

[28] Raa ‘ina berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. di saat para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa’ina, padahal yang mereka katakan ialah Ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Inilah sebabnya, Allah menyuruh agar para sahabat Beliau menukar perkataan Raa’ina dengan kata “Unzhurna” yang juga sama artinya dengan Raa’ina.

[29] Sebagai ganti dari apa yang mereka ucapkan.

[30] Yakni cukup sampai di sini.

[31] Sebagai ganti kata “Raa’inaa”.

[32] Yakni lebih adil. Karena dalam kalimat tersebut terdapat adab bicara yang baik, terlebih di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta taat kepada Allah, bersikap baik dalam menuntut ilmu, dan Beliau juga tentu akan memperhatikan mereka dan mendengarkan pertanyaan mereka. Akan tetapi, karena tabi’at mereka yang buruk, mereka berpaling dari saran itu, maka Allah menjauhkan mereka dari rahmat-Nya karena kekafiran dan sikap keras mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *