Tafsir An Nisa Ayat 141-147

By | Januari 18, 2013

Ayat 141-143: Ragu-ragunya orang-orang munafik, penipuan yang hendak mereka lakukan dan malasnya mereka

الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللَّهِ قَالُوا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُوا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا (١٤١) إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا (١٤٢)مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لا إِلَى هَؤُلاءِ وَلا إِلَى هَؤُلاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلا (١٤٣

Terjemah Surat An Nisa Ayat 141-143

141. (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu[1]. Apabila kamu mendapat kemenangan[2] dari Allah mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?”[3] Dan jika orang kafir mendapat bagian[4] (kemenangan), mereka berkata: “Bukankah kami turut memenangkanmu[5], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?”[6] Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari kiamat[7]. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman[8].

142. Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah[9], dan Allah akan membalas tipuan mereka[10]. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas[11]. Mereka bermaksud riya[12] (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit[13].

143. Mereka dalam

keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir)[14], Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya[15].

Ayat 144-145: Orang-orang munafik adalah orang yang paling berbahaya bagi kaum mukmin daripada orang kafir, oleh karenanya siksaan untuk mereka lebih keras pada hari Kiamat daripada orang-orang kafir

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا (١٤٤) إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا      (١٤٥)

Terjemah Surat An Nisa Ayat 144-145

144. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali[16] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang nyata bagi Allah (untuk menghukummu)?[17]

145. Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka[18]. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.

Ayat 146-147: Tidak diterimanya tobat kecuali dengan syarat-syaratnya, serta dorongan untuk bertobat dan bersyukur, dan bahwa karunia Allah lebih luas lagi

إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا    (١٤٦) مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا (١٤٧

Terjemah Surat An Nisa Ayat 146-147

146. Kecuali orang-orang yang bertobat[19] dan memperbaiki diri[20] dan berpegang teguh pada (agama) Allah serta dengan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah[21]. Maka mereka itu bersama-sama orang yang beriman[22] dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar[23] kepada orang-orang yang beriman.

147. Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur[24] dan beriman? Dan Allah Maha Mensyukuri[25] lagi Maha Mengetahui.


[1] Mereka pun sudah menyiapkan alasan jika terjadi sesuatu yang menimpa kaum mukmin agar tidak disalahkan.

[2] dan ghanimah.

[3] Yakni sama denganmu dalam agama dan ikut berjihad. Mereka memperlihatkan, bahwa diri mereka ikut bersama kaum mukmin, baik lahir maupun batin agar tidak disalahkan, tidak dicela dan agar mereka mendapatkan ghanimah dan fai’ (harta rampasan tanpa melalui peperangan).

[4] Digunakan kata “nashiibun” (bagian) bukan fat-h (kemenangan), karena orang-orang kafir tidak mendapatkan kemenangan yang menjadi awal untuk kemenangan selanjutnya. Kalau pun mendapatkan kemenangan, namun itu tidak selamanya.

[5] Yaitu dengan membukakan rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir, dan kalau pun mereka berperang bersama kaum mukmin, maka mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.

[6] Dengan tidak membantu mereka dan menyampaikan kepada kaum kafir keadaan kaum mukmin atau dengan menyalahkan pendapat kaum mukmin, membuat mereka benci berperang, memberikan bantuan kepada musuh dsb.

[7] Dengan memisahkan orang-orang mukmin dan orang-orang munafik, serta memasukkan orang-orang mukmin ke dalam surga, sedangkan orang-orang munafik dimasukkan ke dalam neraka.

[8] Oleh karena itu, akan senantiasa ada segolongan kaum mukmin yang tegak di atas kebenaran meskipun mereka tidak dibantu dan banyak yang menyelisihi, dan Allah akan senantiasa mengadakan sebab kemenangan bagi kaum mukmin dan menyingkirkan kekuasaan kaum kafir terhadap kaum mukmin. Oleh karenanya, meskipun sebagian kaum muslim berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, namun mereka tetap dihormati, tidak direndahkan dan tidak dipermasalahkan, bahkan mereka mendapatkan kemuliaan yang sempurna dari sisi Allah, wal hamdulillah awwalan wa aakhira wa zhaahiran wa baatinan.

[9] Dengan menampakkan di luar sesuatu yang berbeda dengan keadaan di dalam dirinya, oleh karenanya diberlakukan kepada mereka hukum-hukum dunia berdasarkan zhahirnya. Mereka mengira bahwa hal itu tidak diketahui Allah dan tidak ditampakkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, padahal Allah menipu mereka, bahkan sikap mereka ini saja sebenarnya sudah menipu diri mereka sendiri, dan tipuan apa yang lebih besar daripada orang yang mengusahakan sesuatu yang merugikan dirinya. Hal itu juga menunjukkan kurangnya akal pemiliknya, di mana ia menggabung maksiat dan memandangnya baik. Termasuk tipuan-Nya kepada mereka (kaum munafik) adalah seperti yang disebutkan dalam surat Al Hadid ayat 13, “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.”

[10] Maksudnya Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani seperti halnya orang-orang mukmin dilayani. Namun demikian, Allah telah menyediakan bagi mereka neraka sebagai pembalasan terhadap tipuan mereka itu.

[11] Padahal shalat merupakan amal ibadah yang paling utama. Rasa malas dan bosan tidaklah muncul kecuali karena hilangnya rasa cinta kepadanya di hati mereka. Jika sekiranya hati mereka rindu kepada Allah dan berharap terhadap apa yang ada di sisi-Nya, tentu tidak muncul sikap malas.

[12] Riya adalah melakukan suatu amal tidak untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat. Orang munafik melakukan shalat dengan maksud dipuji manusia, dihormati dan dimuliakan dan tidak melakukannya dengan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

[13] Maksudnya mereka shalat hanya sesekali saja, yaitu apabila mereka berada di hadapan orang lain. Memang demikian, karena mengingat Allah tidaklah muncul kecuali dari orang mukmin yang hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan mengagungkan-Nya.

[14] Mereka memberikan batin mereka kepada orang-orang kafir dan memberikan zhahir (laihiriah) mereka kepada kaum mukmin.

[15] Yakni kamu tidak akan menemukan cara untuk memberinya petunjuk dan tidak akan mendapatkan sarana yang dapat menghentikan kesesatannya. Hal itu, karena pintu rahmat telah tertutup baginya dan digantikan oleh hukuman. Sifat-sifat orang munafik yang disebutkan dalam ayat di atas menunjukkan bahwa kaum mukmin tidak demikian sifatnya, bahkan sebaliknya, mereka (kaum mukmin) jujur luar dan dalam serta berniat ikhlas, semangat dalam shalat dan beribadah serta banyak mengingat Allah, mereka telah ditunjuki Allah dan diberi taufik-Nya ke jalan yang lurus. Oleh karena itu, hendaknya seorang yang berakal memperhatikan keadaan dirinya, apakah sifat-sifat orang mukmin ada dalam dirinya ataukah sifat-sifat orang munafik yang ada di dalam dirinya, kemudian diperbaikinya.

[16] Wali jamaknya auliyaa, yang berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung, penolong dan pemimpin.

[17] Setelah disebutkan sebelumnya, bahwa di antara sifat orang-orang munafik adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan kaum mukmin, maka dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’aala melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin melakukan tindakan yang sama dengan orang-orang munafik itu, dan bahwa perbuatan itu memberikan alasan yang nyata bagi Allah untuk menghukum kamu, karena Dia telah memperingatkan agar tidak melakukannya serta memberitahukan kepada kita mafsadatnya. Jika masih ditempuh juga setelah diperingatkan, maka ia layak mendapatkan hukuman. Dalam ayat ini terdapat dalil sempurnanya keadilan Allah, dan bahwa Allah tidak mengazab seseorang sebelum tegaknya hujjah. Dalam ayat ini juga terdapat peringatan dari mengerjakan maksiat, karena pelakunya sama saja memberikan alasan bagi Allah untuk menghukumnya.

[18] Hal itu, karena mereka berbuat syirk kepada Allah, memerangi rasul-Nya, membuat makar dan tipu daya terhadap kaum mukmin serta melancarkan serangan kepada kaum mukmin secara diam-diam. Mereka sudah merugikan umat Islam, namun mereka disikapi oleh kaum muslim secara baik karena zhahirnya yang menampakkan keislaman. Mereka memperoleh sesuatu yang sebenarnya tidak mereka peroleh. Karena inilah mereka mendapatkan siksa yang paling keras dan tidak ada yang menolong mereka dari azab itu. Ayat ini adalah umum, mengena kepada setiap orang munafik, kecuali orang yang dikaruniakan Allah bertobat dari segala maksiat.

[19] Dari kemunafikan.

[20] Memperbaiki diri berarti mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

[21] Yakni membersihkan amalan mereka dari riya’ dan kemunafikan. Disebutkan kata “berpegang teguh kepada Allah dan berbuat ikhlas” setelah kata memperbaiki diri meskipun sudah cukup dengan kata-kata “memperbaiki diri” adalah karena pentingnya masalah tersebut, khususnya dalam usaha membersihkan diri dari nifak. Oleh karenanya, kemunafikan sangat sulit disingkirkan kecuali dengan benar-benar berpegang teguh kepada Allah, kembali dan meminta kepada-Nya agar disingkirkan serta berbuat ikhlas.

[22] Baik ketika di dunia, di alam barzakh maupun di hari kiamat.

[23] Yaitu surga.

[24] Syukur artinya tunduknya hati dan pengakuannya terhadap nikmat Allah, lisan memuji Allah dan anggota badan mengerjakan ketaatan kepada Allah, serta tidak menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat.

[25] Allah mensyukuri hamba-hamba-Nya dengan memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, memaafkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Oleh karena itu, barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberikan ganti yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *