Tafsir Al Mu’min Ayat 23-33

By | April 7, 2013

Ayat 23-27: Kisah Nabi Musa ‘alaihis salam bersama Fir’aun, bagaimana mereka menolak ‘aqidah tauhid dan rencana mereka untuk membunuh Nabi Musa ‘alaihis salam.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا وَسُلْطَانٍ مُبِينٍ (٢٣) إِلَى فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَقَارُونَ فَقَالُوا سَاحِرٌ كَذَّابٌ (٢٤) فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ مِنْ عِنْدِنَا قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَاءَهُمْ وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (٢٥) وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الأرْضِ الْفَسَادَ (٢٦) وَقَالَ مُوسَى إِنِّي عُذْتُ بِرَبِّي وَرَبِّكُمْ مِنْ كُلِّ مُتَكَبِّرٍ لا يُؤْمِنُ بِيَوْمِ الْحِسَابِ (٢٧)

Terjemah Surat Al Mu’min Ayat 23-27 

23. Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami[1] dan keterangan yang nyata[2],

24. Kepada Fir’aun, Haman[3] dan Qarun[4]; lalu mereka berkata, “(Musa) itu seorang pesihir dan pendusta.”

25. Maka ketika dia (Musa) datang kepada mereka membawa kebenaran dari Kami[5] mereka berkata, “Bunuhlah anak-anak laki-laki dari orang-orang yang beriman bersama dia dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.” Namun tipu daya orang-orang kafir itu sia-sia belaka[6].

26. Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya)[7], “Biar aku yang membunuh Musa[8] dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. [9]Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.”

27. Dan (Musa) berkata[10], “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari perhitungan[11].”

Ayat 28-33: Kisah orang mukmin dari kalangan keluarga Fir’aun, pembelaannya terhadap Nabi Musa ‘alaihis salam, dan pentingnya berlaku ikhlas dalam memberikan nasihat dan bimbingan.

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ (٢٨) يَا قَوْمِ لَكُمُ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ظَاهِرِينَ فِي الأرْضِ فَمَنْ يَنْصُرُنَا مِنْ بَأْسِ اللَّهِ إِنْ جَاءَنَا قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلا مَا أَرَى وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلا سَبِيلَ الرَّشَادِ (٢٩) وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الأحْزَابِ (٣٠) مِثْلَ دَأْبِ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ (٣١)وَيَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ يَوْمَ التَّنَادِ (٣٢) يَوْمَ تُوَلُّونَ مُدْبِرِينَ مَا لَكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ عَاصِمٍ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ   (٣٣)

  Terjemah Surat Al Mu’min Ayat 28-33

28. Dan seseorang yang beriman di antara keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia berkata, “Tuhanku adalah Allah[12], padahal sungguh dia telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. [13]Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika dia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu[14].” [15]Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas[16] dan pendusta[17].

29. [18]“Wahai kaumku!” Pada hari ini kerajaan ada padamu dengan berkuasa di bumi[19]. Tetapi siapa yang akan menolong kita dari azab Allah jika (azab itu) menimpa kita[20]?” Fir’aun berkata[21], “Aku hanya mengemukakan kepadamu, apa yang aku pandang baik[22]; dan aku hanya menunjukkan kepadamu jalan yang benar[23].”

30. Dan orang yang beriman itu berkata[24], “Wahai kaumku! Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti hari kehancuran golongan yang bersekutu[25],

31. (yakni) seperti kebiasaan kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud dan orang-orang yang datang setelah mereka[26]. Padahal Allah tidak menghendaki kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya[27].

32. [28]Wahai kaumku! Sesungguhnya aku benar-benar khawatir terhadapmu akan siksaan hari saling memanggil[29],

33. (yaitu) pada hari (ketika) kamu berpaling ke belakang (lari), tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan kamu dari (azab) Allah. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang mampu memberi petunjuk[30].


[1] Yakni ayat-ayat Kami yang besar yang menunjukkan kebenaran apa yang Beliau bawa dan batilnya apa yang dipegang oleh kaumnya yang menentang, yaitu syirk dan perbuatan maksiat lainnya.

[2] Yakni hujjah yang nyata yang menguasai hati sehingga menjadikannya tunduk, seperti tongkatnya yang berubah menjadi ular, tangan yang bercahaya, dsb. dimana dengannya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menguatkan Musa dan menguatkan kebenaran yang diserukannya.

[3] Haman adalah menteri Fir’aun.

[4] Qarun termasuk kaum Nabi Musa ‘alaihis salam, lalu ia bersikap sombong terhadap kaumnya dengan hartanya. Fir’aun, Haman dan Qarun sama-sama menentang Nabi Musa ‘alaihis salam dengan keras.

[5] Allah menguatkan Beliau dengan beberapa mukjizat yang besar yang mengharuskan mereka tunduk dan tidak menolaknya. Namun mereka malah menolaknya dan berpaling, mengingkarinya dan menentangnya dengan kebatilan mereka, bahkan lebih dari itu, mereka sampai melakukan tindakan yang sangat keji, yaitu membunuh anak-anak laki-laki kaum mukmin dan membiarkan hidup anak-anak wanitanya. Mereka mengira bahwa jika mereka membunuh anak-anak Bani Israil, maka Bani Israil akan menjadi lemah dan tetap dalam perbudakan kepada mereka.

[6] Yakni tujuan mereka untuk melemahkan Bani Israil gagal, bahkan mereka memperoleh kebalikan dari apa yang mereka harapkan; Allah membinasakan mereka dan menghabisi mereka sampai ke akar-akarnya.

Sering sekali kalimat semakna dengan ini, “Wa maa kaidul kaafiriina illaa fi dhalaal” (artinya: Namun tipu daya orang-orang kafir sia-sia belaka) diulang dalam Al Qur’an, yakni apabila susunannya menceritakan tentang kisah tertentu atau masalah tertentu, dan Allah ingin menghukumi hal tertentu itu, maka Allah tidak menghukumi dengan khusus, bahkan Allah hukumi dengan sifat yang umum, agar hukum-Nya mengena kepada semuanya, oleh karenanya Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak berfirman, “Wa maa kaiduhum illaa fii dhalaal” (artinya: Namun tipu daya mereka itu sia-sia belaka), tetapi mengatakan, “Wa maa kaidul kaafiriina illaa fi dhalaal” (artinya: Namun tipu daya orang-orang kafir sia-sia belaka).

[7] Dengan sikap sombong dan kejam.

[8] Hal itu karena para pembesarnya menghalangi Fir’aun membunuh Musa.

[9] Inilah yang mendorong Fir’aun harus membunuh Musa ‘alaihis salam, dengan maksud menipu kaumnya. Ini termasuk hal yang sangat mengherankan, yaitu manusia yang paling buruk (Fir’aun) mengaku memberi nasihat kepada kaumnya. Ini tidak lain melainkan untuk mengelabui dan menyembunyikan hakikat yang sebenarnya, seperti halnya maling teriak maling. Hal ini diterangkan pula dalam surah Az Zukhruf: 54, “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”

[10] Ketika Fir’aun mengucapkan kata-kata yang keji itu.

[11] Yakni kesombongan serta tidak beriman kepada hari perhitungan yang membuatnya bersikap buruk dan membuat kerusakan, seperti yang terjadi pada Fir’aun dan orang-orang yang semisalnya yang terdiri dari para pemimpin kesesatan. Maka dengan kelembutan Allah, Dia melindungi Musa dari setiap orang yang sombong lagi tidak beriman kepada hari perhitungan. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga menetapkan berbagai sebab yang dengannya Beliau terhindar dari kejahatan Fir’aun dan para pemukanya. Di antara sejumlah sebab itu adalah laki-laki dari keluarga Fir’aun yang dihormati dan ucapannya didengar, terlebih ketika luarnya ia seperti sama dengan mereka, namun batinnya beriman, maka biasanya mereka akan memperhatikan kata-katanya. Hal ini sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjaga nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari orang-orang Quraisy melalui pamannya yang disegani oleh mereka, yaitu Abu Thalib, dimana ia adalah orang yang tua di kalangan mereka dan sama dengan agama mereka.

[12] Yakni bagaimana kamu menganggap halal membunuhnya hanya karena dia mengatakan Tuhanku adalah Allah, dan lagi ucapannya tidak hanya sekedar ucapan, ia juga telah memperkuat dengan bukti-bukti yang sudah diketahui bersama. Mengapa sebelum kamu membunuhnya, kamu tidak menghadapinya dengan bukti-bukti untuk menolaknya? Setelah itu, kamu memperhatikan apakah ia layak dibunuh ketika kamu mengalahkan hujjahnya atau tidak? Namun jika ternyata hujjahnya yang menang dan buktinya yang tinggi, maka antara kamu dengan halalnya dibunuh terdapat padang sahara yang harus kamu lalui.

[13] Selanjutnya ia mengucapkan kata-kata yang sejalan dengan akal sehat dan dapat menundukkan semua orang yang berakal.

[14] Yakni Musa ‘alaihis salam berada di antara dua keadaan; bisa dusta dan bisa benar. Jika dusta, maka Beliaulah yang menanggung dosanya dan bahayanya hanya untuk dirinya, dan kamu tidak akan menerima bencana jika kamu tidak memenuhi seruannya dan mengimaninya, namun jika Beliau benar dan ternyata Beliau juga telah membawakan bukti-bukti terhadap kebenarannya, dan Beliau telah memberitahukan kamu bahwa jika kamu tidak mau mengikuti, maka Allah akan mengazabmu di dunia dan di akhirat, maka pasti sebagian dari bencana yang diancamkan kepadamu itu, yaitu azab di dunia, akan menimpamu.

Ini termasuk kecerdasan akal orang mukmin tersebut, dan memang orang-orang mukmin adalah orang-orang yang cerdas meskipun tingkat kecerdasannya berbeda-beda sebagaimana tingkat iman mereka juga berbeda-beda. Hal ini juga termasuk kelembutan orang tersebut dalam membela Nabi Musa ‘alaihis salam, dimana ia mengucapkan kata-kata yang diakui oleh mereka dan menjadikan masalah tersebut mengandung dua kemungkinan, serta menerangkan bahwa masing-masing kemungkinan itu tetap memberikan kesimpulan untuk tidak membunuhnya, dan bahwa membunuhnya merupakan tindakan bodoh dan jahil dari mereka.

[15] Selanjutnya orang ini –semoga Allah meridhainya, mengampuninya dan merahmatinya- beralih kepada perkara yang lebih tinggi dari itu dan menerangkan dekatnya Musa ‘alaihis salam dengan kebenaran. Dia berkata, Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.”

[16] Yaitu dengan meninggalkan yang hak setelah datang, dan beralih kepada yang batil.

[17] Yaitu dengan menisbatkan sikap melampaui batas itu kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Orang yang seperti ini tidak akan ditunjuki oleh Allah kepada jalan yang benar dan tidak diberi taufiq ke jalan yang lurus.

Yakni, kamu telah mendengar dan melihat apa yang diserukan Nabi Musa dan pemberian Allah kepadanya berupa bukti-bukti yang diterima akal dan mukjizat yang luar biasa. Jika kamu tidak beriman kepadanya, padahal bukti-buktinya begitu jelas, maka berarti kamu orang yang melampaui batas dan pendusta. Hal ini menunjukkan sempurnanya ilmu, akal dan pengenalan orang mukmin tersebut kepada Tuhannya.

[18] Selanjutnya ia mengingatkan kaumnya dan menasihati mereka serta menakut-nakuti mereka dengan azab di akhirat dan melarang mereka tertipu oleh kerajaan yang tampak pada saat itu.

[19] Atas rakyat kamu, dimana kamu dapat memberlakukan apa saja ketetapanmu atas mereka.

[20] Karena kamu membunuh utusan-Nya. Kata-katanya ini agar mereka paham bahwa maksudnya adalah memilihkan yang terbaik untuk mereka sebagaimana ia memilih yang terbaik untuk dirinya, serta meridhai untuk mereka sesuatu yang ia ridhai untuk dirinya sendiri.

[21] Untuk menentangnya sambil memperdaya kaumnya agar tidak mengikuti Musa ‘alaihis salam.

[22] Ia memandang untuk kepentingan pribadinya agar kekuasaannya tetap langgeng meskipun ia tahu bahwa kebenaran bersama Nabi Musa ‘alaihis salam, namun ia mengingkarinya meskipun mengakui kebenarannya.

[23] Ia (Fir’aun) memutarbalikkan fakta. Kalau sekiranya ia menyuruh mereka mengikuti kekafiran dan kesesatannya saja, maka keburukannya lebih ringan, tetapi ia menyuruh mereka mengikutinya dan mengatakan bahwa dengan mengikutinya, maka mereka berada di atas kebenaran.

[24] Mengulang-ulang mendakwahi kaumnya dan tidak putus asa berusaha memberi petunjuk kepada mereka sebagaimana keadaan para da’i ilallah. Mereka senantiasa mengajak manusia kepada Tuhannya dan tidak menghalangi mereka orang yang menolaknya serta tidak melemahkan mereka sikap keras dari orang yang mereka dakwahi.

[25] Mereka bersekutu untuk menentang para nabi.

[26] Yakni seperti kebiasaan mereka dalam kekafiran dan mendustakan, dan kebiasaan Alah terhadap mereka yang seperti itu adalah menghukum mereka di dunia sebelum menghukum mereka di akhirat.

[27] Oleh karena itu, Dia tidak akan mengazab mereka tanpa dosa yang mereka kerjakan.

[28] Setelah dia menakut-nakuti mereka dengan hukuman di dunia, maka dia menakut-nakuti mereka dengan hukuman di akhirat.

[29] Hari kiamat disebut hari saling memanggil karena orang yang berkumpul di padang mahsyar sebagiannya memanggil sebagian yang lain untuk meminta tolong sebagaimana panggilan mereka kepada para nabi ulul ‘azmi untuk memberi syafaat. Ada pula yang berpendapat, bahwa ketika itu banyak panggilan penghuni surga kepada penghuni neraka dan sebaliknya (lihat surah Al A’raaf: 44-50), demikian pula seruan berbahagia untuk orang yang berhak mendapatkannya dan seruan kesengsaraan untuk orang yang berhak memperolehnya. Termasuk pula seruan penghuni neraka kepada malaikat Malik agar dia meminta kepada Allah agar Allah mematikan mereka (lihat Az Zukhruf: 77), dan perintah kepada orang-orang musyrik, “Serulah olehmu sekutu-sekutu kamu”, lalu mereka menyerunya, maka sekutu-sekutu itu tidak memperkenankan (seruan) mereka, dan mereka melihat azab. (Mereka ketika itu berkeinginan) sekiranya mereka dahulu menerima petunjuk.” (Terj. Al Qashash: 64).

[30] Hal itu, karena hidayah di Tangan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Jika Dia menghalangi hamba-Nya dari memperoleh hidayah karena Dia mengetahui bahwa ia tidak layak memperolehnya disebabkan keburukannya, maka tidak ada jalan untuk memberinya petunjuk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *