Tafsir Al Hasyr Ayat 1-10

By | April 4, 2013

Surah Al Hasyr (Pengusiran)[1]

Surah ke-59. 24 ayat. Madaniyyah

  بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat 1-5: Pengagungan bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan penampakkan kekuasaan-Nya dimana di antara bukti kekuasaannya adalah pengusiran orang-orang Yahudi dari Madinah yang sebelumnya menyangka sebagai golongan yang kuat karena memiliki benteng-benteng yang kokoh.

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١)هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ  (٢) وَلَوْلا أَنْ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَلاءَ لَعَذَّبَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ (٣) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٤) مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ (٥)

Terjemah Surat Al Hasyr Ayat 1-5

1. [2]Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

2. Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab[3] dari kampung halamannya[4] pada saat pengusiran yang pertama[5]. Kamu[6] tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar[7] dan mereka pun yakin, benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah[8]; maka Allah mendatangkan (siksaan) kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka[9]; sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin[10]. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan[11].

3. [12]Dan sekiranya tidak karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, pasti Allah mengazab mereka di dunia[13]. Dan di akhirat mereka akan mendapat azab neraka.

4. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

5. [14]Apa yang kamu[15] tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya[16], maka (itu) terjadi dengan izin Allah; [17]dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.

Ayat 6-7: Hukum fai’i.

  وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (٦) مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)

Terjemah Surat Al Hasyr Ayat 6-7

6. Dan harta rampasan (fai’i)[18] dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, kamu tidak memerlukan kuda atau unta untuk mendapatkannya[19], tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada rasul-rasul-Nya terhadap siapa yang Dia kehendaki[20]. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

7. Harta rampasan fai’i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri[21], adalah untuk Allah, rasul, kerabat (rasul)[22], anak-anak yatim, orang-orang miskin[23] dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu[24]. Apa yang diberikan Rasul kepadamu[25], maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah[26]. [27]Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukumannya[28].

Ayat 8-10: Beberapa ayat ini menyebutkan tentang umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimulai dengan kaum Muhajirin dan Anshar.

  لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (٨) وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩) وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٠)

Terjemah Surat Al Hasyr Ayat 8-10

8. [29](harta rampasan itu) juga untuk orang-orang fakir yang berhijrah[30] yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

9. [31]Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka[32]. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)[33]; dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan[34]. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran[35], maka mereka itulah orang orang yang beruntung

10. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa[36], “Ya Tuhan Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami[37], dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”


[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Sa’id bin Jubair, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, “(Ada apa dengan) surah At Taubah?” Ia menjawab, “Ia adalah surah yang membuka aib (orang-orang munafik), dimana ia selalu turun (dengan kata-kata), “Wa minhum-wa minhum,” (artinya: dan di antara mereka), sehingga mereka (orang-orang munafik) mengira bahwa surah tersebut tidaklah menyisakan seorang pun di antara mereka kecuali disebutkan di dalamnya.” Aku (Sa’id bin Jubair) berkata, “(Bagaimana dengan) surah Al Anfaal?” Ia menjawab, “Ia (surah tersebut) turun berkenaan dengan perang Badar.” Aku bertanya lagi., “(Bagaimana dengan) surah Al Hasyr?” Ia menjawab, “Ia turun berkenaan dengan Bani Nadhir.”

Hakim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: Perang Bani Nadhir, yakni segolongan orang-orang Yahudi terjadi pada penghujung bulan keenam dari peristiwa Badar. Rumah mereka (Bani Nadhir) dan pohon kurma mereka berada di tepi Madinah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka sehingga mereka setuju berpindah tempat dengan syarat untuk mereka apa yang diangkut oleh unta berupa barang-barang dan harta kecuali halqah, yaitu senjata, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat, Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah…dst.” Sampai firman-Nya, Pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka,…dst.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka sehingga melakukan shulh (perjanjian damai) dengan mereka dengan syarat mereka pindah, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungsikan mereka ke Syam, padahal mereka berasal dari suku yang belum pernah mendapat pengusiran di zaman dahulu dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah menetapkan demikian (pengusiran) kepada mereka. Jika tidak ada ketetapan itu, tentu Dia telah mengazab mereka di dunia dengan dibunuh dan ditawan. Adapun firman-Nya, Pada saat pengusiran yang pertama,” maka maksudnya, bahwa pengusiran tersebut adalah pengusiran pertama di dunia ke Syam.” (Hakim berkata, “Hadits ini hadits shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkan.” Syaikh Muqbil berkata, “Demikianlah yang dikatakan Hakim rahimahullah, hadits tersebut memang shahih akan tetapi tidak dengan syarat keduanya (Bukhari-Muslim) karena keduanya tidak menyebutkan hadits dari Zaid bin Al Mubaarak (rawi hadits tersebut) dan Muhammad bin Tsaur. Hadits tersebut disebutkan pula oleh Baihaqi dalam Dalaa’ilunnubuwwah juz 2 hal. 444)

[2] Syaikh As Sa’diy menerangkan, bahwa surah ini adalah surah Bani Nadhir, dimana mereka adalah sekelompok besar dari kalangan orang-orang Yahudi yang tinggal bersebelahan dengan Madinah di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dan berhijrah ke Madinah, maka mereka kafir kepada Beliau bersama orang-orang Yahudi lainnya. Ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tinggal di Madinah, maka Beliau berdamai dengan seluruh orang-orang Yahudi yang menjadi tetangga Beliau di Madinah. Kira-kira enam bulan setelah perang Badar berlalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka (orang-orang Yahudi) dan berbicara dengan mereka agar mereka mau membantu Beliau dalam menuntut diyat dua orang dari Bani Killaab yang dibunuh oleh Amr bin Umayyah Adh Dhamuri, lalu mereka berkata, “Kami akan lakukan wahai Abul Qaasim! Duduklah bersama kami sehingga kami bisa memenuhi keperluanmu,” lalu sebagian mereka dengan sebagian yang lain diam-diam bermusyawarah untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dijadikan indah oleh setan, mereka berkata, “Siapakah di antara kamu yang mau mengambil penggilingan ini lalu ia angkat kemudian menaruhnya di atas kepala Beliau untuk dipecahkan dengannya?” Maka orang yang paling celaka di antara mereka, yaitu ‘Amr bin Jahhasy berkata, “Saya,” maka Salam bin Misykam berkata, “Jangan kalian lakukan. Demi Allah, akan diberitahukan niat kalian itu dan hal itu merupakan pembatalan janji yang telah dilakukan di antara kita dengan Beliau.” Maka datanglah wahyu kepada Beliau dari Tuhannya mengenai niat jahat mereka itu. Segeralah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dan menuju Madinah lalu ditemui oleh para sahabat dan mereka berkata, “Engkau bersiap-siap, namun kami tidak menyadari,” maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka niat orang-orang Yahudi itu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim orang untuk memberitahukan, “Keluarlah kamu (wahai orang-orang Yahudi) dari Madinah dan jangan tinggal bersamaku di sini, dan aku beri tangguh kepadamu selama sepuluh hari. Barang siapa yang ditemukan tetap di situ setelah pemberitahuan itu, maka akan dipenggal lehernya.” Lalu mereka tinggal beberapa hari untuk bersiap-siap dan seorang munafik bernama Abdullah bin Ubay bin Salul mengirim orang kepada mereka memberitahukan, “Janganlah kalian keluar dari tempat tinggalmu karena bersamaku ada 2.000 orang yang akan masuk ke bentengmu bersamamu, mereka siap mati untuk membelamu, Bani Quraizhah akan menolongmu, demikian pula sekutu kamu dari Ghatfan.” Maka Huyay bin Akhthab tokoh mereka senang dengan ucapan itu sehingga mengirimkan orang untuk mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami tidak akan keluar dari tempat tinggal kami. Oleh karena itu, lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir, demikian pula para sahabatnya dan pergi berangkat menuju mereka, sedangkan Ali bin Abi Thalib membawa panji bendera, lalu mereka tinggal di dekat benteng mereka dengan melempari panah dan batu, sedangkan Bani Quraizhah tidak membantu mereka, dan Abdullah bin Ubay serta para sekutu mereka mengkhianati mereka, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka, menebang pohon kurma mereka dan membakar, lalu mereka mengirimkan orang untuk memberitahukan bahwa mereka akan keluar dari Madinah.” Maka Beliau membiarkan mereka dengan syarat mereka harus keluar dari Madinah membawa diri dan anak keturunan mereka dan bahwa untuk mereka apa yang diangkut unta selain senjata. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang harta dan senjata mereka. Harta-harta Bani Nadhir ini khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk keperluan Beliau dan maslahat kaum muslimin dan Beliau tidak membagi seperlima, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala yang memberikan harta fa’i itu kepada Beliau, sedangkan kaum muslimin tidak bersusah payah mengerahkan kuda dan unta untuknya, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir mereka ke Khaibar yang di tengah-tengah mereka terdapat Huyay bin Akhthab tokoh mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menguasai tanah dan tempat tinggal mereka, mengambil senjata, sehingga terkumpul 50 baju besi, 50 tutup kepala dari besi dan 340 pedang, itulah kesimpulan kisah mereka sebagaimana diterangkan oleh Ahli Sejarah. Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memulai surah ini dengan memberitahukan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih dengan memuji Tuhannya serta menyucikan-Nya dari segala yang tidak layak dengan keagungan-Nya, menyembah-Nya dan tunduk kepada kebesaran-Nya karena Allah Mahaperkasa yang menundukkan segala sesuatu sehingga tidak ada sesuatu pun yang menolaknya, dan Dia Mahabijaksana yang bijaksana dalam ciptaan-Nya dan dalam perintah-Nya, Dia tidaklah menciptakan sesuatu main-main dan tidaklah mensyariatkan hal yang tidak ada maslahatnya dan tidaklah melakukan kecuali yang di sana sejalan dengan hikmah-Nya. Termasuk di antaranya adalah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menolong Rasul-Nya terhadap orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab, yaitu Bani Nadhir ketika mereka melanggar perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Beliau mengusir mereka dari tempat tinggal mereka yang biasa mereka tempati dan mereka cintai. Pengusiran tersebut adalah pengusiran pertama yang ditetapkan Allah Subhaanahu wa Ta’aala untuk mereka melalui tangan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka pun keluar menuju Khaibar. Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa mereka akan mendapat pengusiran lagi di samping ini dan ternyata demikian, yaitu mereka (sisa-sisa orang-orang Yahudi) diusir lagi dari Khaibar oleh Umar radhiyallahu ‘anhu di zaman pemerintahannya.

[3] Yaitu Bani Nadhir.

[4] Di Madinah.

[5] Merekalah orang-orang yang pertama dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah menuju Syam dan diusir kembali oleh Umar radhiyallahu ‘anhu dalam masa pemerintahannya.

[6] Wahai kaum mukmin.

[7] Karena kuatnya pertahanan mereka dan terhormatnya mereka di sana.

[8] Mereka merasa ujub dengan benteng-benteng mereka, bahwa benteng tersebut tidak akan dapat ditembus oleh seorang pun, padahal taqdir Allah Subhaanahu wa Ta’aala di atas semua itu, benteng, pertahanan dan kekuatan mereka tidak berguna sedikit pun bagi mereka di hadapan kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Barang siapa yang percaya kepada selain Allah, maka dia akan ditelantarkan dan barang siapa yang cenderung kepada selain Allah, maka dia akan mendapatkan akibat yang buruk, maka mereka ditimpa perkara dari langit yang menimpa hati mereka, dimana hati merupakan tempat teguh dan sabar atau lemah dan kendur. Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyingkirkan kekuatannya dan menggantikan dengan kelemahan dan ketakutan sehingga yang demikian merupakan pertolongan kepada kaum muslimin.

[9] Rasa takut yang Allah tanamkan ke dalam hati mereka adalah tentara-Nya yang paling besar, dimana tidak bermanfaat jumlah yang banyak dan perlengkapan bersamanya.

[10] Hal itu, karena sebelumnya mereka telah berjanji kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa untuk mereka apa yang diangkut oleh unta. Oleh karena itu, mereka robohkan atap-atap yang sebelumnya mereka pandang indah dan memberikan kekuasaan kepada orang-orang mukmin dengan merobohkan rumah dan benteng mereka.

[11] Yakni mempunyai pandangan yang dalam dan akal yang sempurna, karena dalam hal ini terdapat pelajaran yang dengannya diketahui tindakan Allah Subhaanahu wa Ta’aala terhadap orang-orang yang menentang kebenaran dan mengikuti hawa nafsu, dimana keperkasaan mereka tidak memberi manfaat apa-apa bagi mereka, demikian pula kekuatan mereka dan benteng yang mereka buat saat datang perkara Allah dan hukuman-Nya disebabkan dosa-dosa mereka. Sebagaimana ‘ibrah (yang dijadikan pelajaran) adalah berdasarkan keumuman lafaz bukan kekhususan sebab (Al ‘ibrah bi’umuumil lafzhi laa bikhushusis sabab), maka ayat ini terdapat dalil perintah I’tibar, yaitu mengambil pelajaran dari yang serupa untuk yang serupa dan sesuatu diqiaskan dengan yang semisalnya, demikian pula memikirkan hukum-hukum yang dikandungnya berupa makna-makna dan hikmah-hikmah yang menjadi pusat pemikiran. Dengan itulah akal menjadi tajam, bashirah (mata hati) menjadi bersinar dan iman menjadi bertambah dan tercapai pemahaman yang hakiki.

[12] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa orang-orang Yahudi belum mendapatkan semua hukuman dan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala meringankan hal itu untuk mereka. Kalau bukan karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah menetapkan pengusiran untuk mereka tentu mereka mendapatkan hukuman yang lain di dunia. Meskipun begitu, mereka tetap akan mendapatkan azab neraka di akhirat yang tidak mungkin diketahui dahsyatnya kecuali oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Oleh karena itu, janganlah mereka mengira bahwa hukuman untuk mereka telah selesai dan tidak ada lagi, bahkan azab yang Allah sediakan untuk mereka di akhirat lebih besar dan lebih merata. Hal itu, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat selanjutnya karena mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, memusuhi dan memerangi keduanya serta berusaha mendurhakai keduanya. Itulah kebiasan yang berlaku bagi orang-orang yang menentang keduanya, dan barang siapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

[13] Dengan dibunuh dan ditawan sebagaimana yang Dia lakukan terhadap Bani Quraizhah.

[14] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membakar pohon kurma milik Bani Nadhir dan menebangnya di Buwairah, maka turunlah ayat, “Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (itu) terjadi dengan izin Allah;”

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah, “Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya,” Ia berkata, “Liinah adalah pohon kurma.” (Firman-Nya), “dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.” Ia (Ibnu Abbas) berkata, “Yaitu meminta mereka turun dari benteng mereka.” Ibnu Abbas juga berkata, “Mereka (kaum muslimin) diperintahkan untuk menebang pohon kurma, lalu mereka merasa tidak enak dalam hatinya, mereka (kaum muslimin) berkata, “Kami telah menebang sebagian dan membiarkan sebagian. Kami akan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; apakah menebangnya mendapatkan pahala dan meninggalkannya mendapatkan dosa?” Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat, “Apa yang kamu tebang di antara pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (itu) terjadi dengan izin Allah,…dst.” (Hadits ini menurut Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 7/303, shahih isnadnya.)

[15] Wahai kaum muslimin.

[16] Maksudnya, pohon kurma milik musuh, untuk kepentingan dan siasat perang dapat ditebang atau dibiarkan tumbuh.

[17] Ketika Bani Nadhir mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin karena menebang pohon kurma dan pepohonan lainnya dan mereka menganggap bahwa hal itu termasuk fasad (melakukan kerusakan) sehingga karena hal itu mereka mencela kaum muslimin, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberitahukan bahwa penebangan pohon itu atau tidak adalah dengan izin Allah Ta’ala dan perintah-Nya serta untuk menghinakan orang-orang fasik, dimana Dia telah memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin untuk menebang pohon kurma mereka dan membakarnya agar hal itu menjadi peringatan bagi mereka serta kerendahan untuk mereka di dunia serta penghinaan yang dapat diketahui kelemahan mereka yang sempurna karena tidak dapat menyelamatkan pohon kurma mereka yang menjadi sumber makanan mereka.

[18] Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari orang-orang kafir tanpa terjadinya pertempuran, misalnya harta yang mereka tinggal lari karena takut kepada kaum muslimin. Harta tersebut dinamakan fai’i yang artinya kembali, karena harta itu kembali dari orang-orang kafir yang tidak berhak memilikinya kepada kaum muslimin yang memiliki hak terhadapnya. Pembagian fa’i berlainan dengan pembagian ghanimah (harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran). Pembagian Fai’i disebutkan pada ayat 7 surah ini, sedangkan pembagian ghanimah disebutkan dalam surah Al Anfaal ayat 41.

Pembagian fa’i, berdasarkan ayat ke-7 surah Al Hasyr ini adalah dibagi menjadi lima bagian:

– 1/5 untuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dialihkan untuk maslahat kaum muslimin secara umum,

– 1/5 untuk kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bani Hasyim dan Bani Muththalib), dimana antara laki-laki dan perempuannya disamaratakan. Bani Muththalib mendapatkan 1/5 bersama Bani Hasyim sedangkan Bani Abdi Manaf yang lain tidak, karena mereka (Bani Muththalib) ikut serta dengan Bani Hasyim dalam masuknya mereka ke dalam satu suku besar ketika orang-orang Quraisy mengadakan kesepakatan untuk menjauhi dan memusuhi mereka; mereka menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda dengan selain mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Bani Muththalib, “Sesungguhnya mereka tidak berpisah denganku di masa Jahiliyyah maupun Islam.”

– 1/5 untuk anak-anak yatim yang fakir, yaitu anak-anak yang ditinggal wafat bapaknya sedangkan mereka belum baligh.

– 1/5 untuk orang-orang miskin, dan

– 1/5 lagi untuk Ibnus Sabil, yaitu orang asing yang terputus dalam perjalanan karena kehabisan bekal.

[19] Yakni kamu wahai kaum muslimin tidak perlu bersusah payah untuk memperolehnya; tidak perlu mengerahkan jiwa ragamu maupun hewan ternakmu.

[20] Oleh karena itu, tidak ada hak bagi kamu padanya dan hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang disebutkan bersama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat selanjutnya yang terdiri dari empat golongan, yaitu bahwa masing-masing mereka mendapatkan seperlima dan sisanya untuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bebas melakukan apa yang Beliau kehendaki, lalu Beliau memberikan di antaranya kepada kaum muhajirin dan tiga orang Anshar karena fakirnya.

[21] Baik Allah Subhaanahu wa Ta’aala memberikannya saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup ataupun setelahnya kepada orang yang menjadi pengganti Beliau dalam memerintah umatnya (pemerintah Islam).

[22] Yang terdiri dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib.

[23] Orang yang membutuhkan.

[24] Allah Subhaanahu wa Ta’aala menetapkan fa’i untuk kelima asnaf (gololngan) ini adalah agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Karena jika Dia tidak menetapkan demikian, maka harta itu hanya beredar di antara orang-orang kaya saja, sedangkan orang-orang lemah tidak memperolehnya dan tentu hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar yang hanya diketahui oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala, sebagaimana mengikuti perintah Allah dan syariat-Nya terdapat banyak maslahat. Oleh karena itulah, dalam ayat selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan dengan kaidah yang menyeluruh dan dasar yang umum, firman-Nya, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

[25] Baik fa’i maupun lainnya.

[26] Ayat ini mencakup ushul (dasar-dasar) agama maupun furu’(cabang)nya, dan bahwa apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harud diambil oleh manusia dan tidak boleh menyelisihinya dan bahwa keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesuatu sama seperti keputusan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, dimana tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya, demikian pula tidak boleh mengedepankan ucapan seorang pun di atas ucapan Beliau.

[27] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya yang dengannya hati, ruh, dunia dan akhirat dimakmurkan, dan dengan takwa dicapai kebahagiaan yang abadi dan keberuntungan yang besar, sedangkan meninggalkannya merupakan kesengsaraan yang abadi dan azab yang kekal.

[28] Bagi orang yang meninggalkan ketakwaan dan mengutamakan mengikuti hawa nafsu.

[29] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta’aala menerangkan hikmah dan sebab mengapa Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan harta fai’i itu untuk orang-orang yang telah ditetapkan-Nya, karena mereka berhak ditolong dan berhak diberikan harta fai’i karena keadaan mereka antara muhajirin (orang-orang yang berhijrah) dan Anshar (memberikan pertolongan).

Kaum muhajirin, mereka telah meninggalkan segala sesuatu yang mereka cintai dan senangi berupa tempat tinggal, kampung halaman, kekasih dan harta demi mencari keridhaan Allah dan membela agama-Nya serta mencintai Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar; yang mengerjakan konsekwensi iman mereka; mereka benarkan iman mereka dengan amal saleh dan ibadah-ibadah yang berat, berbeda dengan orang-orang yang mengaku beriman namun tidak membenarkannya dengan jihad, hijrah dan ibadah lainnya.

Kaum Anshar, yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan suka rela, cinta dan atas dasar pilihan mereka serta melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka telah menempati kota Madinah yang menjadi tempat hijrah dan iman sehingga menjadi tempat kembali kaum mukmin dan tempat berlindung kaum muhajirin. Orang-orang Anshar selalu memberikan pertolongan kepada kaum muslimin yang berhijrah sehingga Islam menjadi kuat dan menyebar, bertumbuh sedikit demi sedikit, dan kaum muslimin dapat menaklukkan hati manusia dengan ilmu, iman dan Al Qur’an serta dapat menaklukkan negeri dengan pedang dan tombak.

[30] Maksudnya, kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil yang semuanya orang fakir dan berhijrah.

[31] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya, namun istri-istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membawa orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Saya.” Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anakku.” Ia (suaminya) menjawab, “Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Tadi malam Allah tertawa atau takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala menurunkan ayat, Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.”

[32] Di antara sifat mereka yang indah adalah bahwa mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Hal itu, karena mereka cinta karena Allah; mereka pun mencintai orang-orang yang mencintai-Nya dan membela agama-Nya.

[33] Ayat ini bisa juga diartikan, Dan mereka tidak menaruh rasa iri dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), “ berupa kelebihan dan keutamaan yang Allah berikan. Ayat ini menunjukkan selamatnya hati mereka (orang-orang Anshar) dan tidak adanya rasa dengki dan iri di hati mereka kepada kaum muhajirin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa kaum muhajirin lebih utama dari kaum Anshar karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan mereka lebih dahulu dan karena mereka menggabung antara membela dan berhijrah.

[34] Yakni di antara sifat orang-orang Anshar sehingga mereka unggul di atas yang lain adalah Iitsar, yaitu sikap mengutamakan orang lain daripada diri sendiri meskipun mereka membutuhkannya. Hal ini tidaklah muncul kecuali dari akhlak yang bersih serta mencintai Allah di atas kecintaan kepada apa yang disenangi jiwa. Kebalikan dari Iitsar adalah atsarah yang artinya mementingkan diri sendiri. Akhlak ini (atsarah) adalah akhlak tercela karena termasuk kebakhilan dan kekikiran, sedangkan orang yang diberi sikap iitsar, maka ia telah dijaga dari kekikiran dirinya.

Kedua golongan yang disebutkan dalam ayat di atas (8 dan 9) yaitu golongan Muhajirin dan Anshar adalah kedua golongan yang utama lagi bersih. Mereka adalah para sahabat yang mulia yang menjadi para pemimpin kebaikan. Mereka mengumpulkan banyak kebaikan, kemuliaan dan kelebihan sehingga mendahului generasi setelah mereka dan menyusul generasi sebelum mereka. Generasi setelah mereka juga akan mendapatkan keutamaan jika berjalan mengikuti mereka (kaum Muhajirin dan Anshar) sebagaimana yang disebutkan dalam ayat selanjutnya.

[35] Dan dari tamak terhadap harta. Termasuk menjaga dari kekikiran diri adalah menjaga diri dari kekikiran dalam mengerjakan semua yang diperintahkan Allah, karena apabila seorang hamba dijaga dari kekikiran dirinya, maka ia akan melaksanakan perintah Allah dengan suka rela dan lapang dada dan dirinya rela meninggalkan apa yang dilarang Allah Subhaanahu wa Ta’aala meskipun ia menyukainya. Ia pun akan mengorbankan hartanya di jalan Allah dan mencari keridhaan-Nya. Dengan begitu tercapailah keberuntungan. Berbeda dengan orang yang ditimpa sikap kikir untuk berbuat baik, dimana hal ini merupakan sumber keburukan dan materinya.

[36] Untuk diri mereka dan seluruh kaum mukmin. Doa ini mengena kepada seluruh kaum mukmin yang terdahulu dari kalangan para sahabat, sebelum mereka dan setelah mereka. Hal ini termasuk keutamaan iman, dimana kaum mukmin dapat memperoleh manfaat dari keimanan sebagian mereka dari sebagian yang lain dan doa dari sebagian mereka kepada sebagian yang lain karena ikut serta dalam keimanan yang menghendaki untuk mengikat persaudaraan antara kaum mukmin, dimana di antara cabangnya adalah satu sama lain saling mendoakan dan saling mencintai. Oleh karena itulah, dalam doa ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan penafian ghil (dengki dan dendam) baik sedikit maupun banyak, dimana apabila ghil itu tidak ada, maka akan tetap kebalikannya, yaitu kecintaan antara kaum mukmin, saling berwala (membela), menasihati dan lain sebagainya yang termasuk hak orang-orang mukmin.

[37] Dalam ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyifati generasi setelah sahabat dengan iman, karena ucapan mereka, “Yang telah beriman lebih dahulu dari kami” menunjukkan keikutsertaan mereka dengan keimanan, dan bahwa mereka mereka mengikuti para sahabat dalam beraqidah dan dalam beragama. Mereka ini adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah Subhaanahu wa Ta’aala juga menyifati mereka dengan mengakui dosa dan beristighfar darinya serta permohonan ampun mereka untuk saudara mereka, usaha mereka untuk menghilangkan rada iri dan dendam dari hati mereka terhadap saudara mereka kaum mukmin karena doa tersebut menghendaki demikian, dan agar mereka mencintai saudara mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka, bersikap tulus kepada mereka di waktu hadir maupun di waktu tidak hadir, di masa hidup maupun setelah mati. Ayat ini juga menunjukkan bahwa hal itu termasuk hak-hak kaum mukmin yang satu dengan yang lain. Selanjutnya mereka tutup doa mereka dengan dua nama Allah Yang Mulia yang menunjukkan sempurnanya rahmat Allah, sangat sayang, serta berbuat ihsan kepada mereka yang di antaranya adalah dengan memberi mereka taufiq untuk memenuhi hak Allah dan hak-hak hamba-Nya.

Dalam ayat ini juga tersirat sikap yang harus kita lakukan terhadap para sahabat, yaitu mencintai mereka, mengucap taradhhiy (radhiyallahu ‘anhum), menjaga lisan dari menjelekkan mereka, menyebutkan keutamaan mereka, menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, meyakini bahwa mereka tidak ma’shum dan bahwa perselisihan di antara mereka itu terjadi karena ijtihadnya, yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala. Di samping itu, mereka (para sahabat) memiliki keutamaan dan kebaikan yang besar yang menghilangkan keburukan yang terjadi di antara mereka jika memang terjadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *