Tafsir At Taubah Ayat 75-93

By | Maret 9, 2013

Ayat 75-80: Ikrar orang munafik tidak dapat dipercaya, pengingkaran yang dilakukan orang munafik terhadap perjanjian, dan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak akan mengampuni mereka

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (٧٥) فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ (٧٦) فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (٧٧) أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَلامُ الْغُيُوبِ (٧٨)الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٧٩) اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٨٠

Terjemah Surat At Taubah Ayat 75-80

75. Dan di antara mereka (orang munafik) ada orang yang telah berjanji kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami[1], niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh[2].”

76. Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir[3] dan berpaling (dari ketaatan), dan selalu menentang (kebenaran).

77. Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya (hari kiamat), karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta[4].

78. Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka[5], dan bahwa Allah mengetahui segala yang ghaib[6].

79.[7] (Orang-orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.

80. (Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya[8]. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Ayat 81-85: Bergembiranya kaum munafik ketika tidak ikut berperang dan balasan untuk mereka, serta larangan menyalatkan jenazah orang munafik

فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (٨١)فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (٨٢)فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣) وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤) وَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَأَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ     (٨٥)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 81-85

81. Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang ke Tabuk), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah[9]. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini[10].” Katakanlah (Muhammad), “Api neraka Jahannam lebih panas,” jika mereka mengetahui.

82. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit[11] dan menangis yang banyak[12], sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat[13].

83. Maka jika Allah mengembalikanmu (Muhammad) kepada suatu golongan dari mereka (orang-orang munafik)[14], kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi (berperang) sejak semula. Karena itu duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut (berperang).”[15]

84.[16] Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat (jenazah) untuk seorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.

85. Dan janganlah engkau (Muhammad) kagum terhadap harta dan anak-anak mereka[17]. Sesungguhnya dengan itu Allah hendaki menyiksa mereka di dunia[18] dan agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir.

Ayat 86-87: Celaan kepada kaum munafik yang kaya karena enggan berjihad dan penjelasan tentang keadaan mereka

وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ (٨٦) رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ    (٨٧)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 86-87

86. Dan apabila diturunkan suatu surah[19] (yang memerintahkan kepada orang-orang munafik), “Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya.” Niscaya orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, “Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk (tinggal di rumah)”[20].

87. Mereka rela[21] berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang[22], dan hati mereka yang telah tertutup, sehingga mereka tidak memahami (kebahagiaan beriman dan berjihad)[23].

Ayat 88-89: Sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukmin terhadap jihad fii sabilillah, dan besarnya pahala mujahid dunia dan akhirat

لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٨٨) أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (٨٩

Terjemah Surat At Taubah Ayat 88-89

88.[24] Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan[25]. Mereka itulah orang-orang yang beruntung[26].

89. Allah telah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung[27].

Ayat 90-93: Menerangkan tentang orang-orang yang mendapatkan uzur dan celaan kepada orang-orang yang tidak ikut berjihad tanpa ada uzur

وَجَاءَ الْمُعَذِّرُونَ مِنَ الأعْرَابِ لِيُؤْذَنَ لَهُمْ وَقَعَدَ الَّذِينَ كَذَبُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٩٠) لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٩١) وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوْا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلا يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ (٩٢) إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَعْلَمُونَ    (٩٣)

Terjemah Surat At Taubah Ayat 90-93

90. Dan di antara orang-orang Arab baduwi datang (kepada Nabi) mengemukakan alasan[28], agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam[29]. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.

91.[30] Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah[31], orang yang sakit[32] dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan[33], apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada alasan apa pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik[34]. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[35],

92. Dan tidak ada (pula) dosa atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad), agar engkau memberi kendaraan kepada mereka[36], lalu engkau berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih[37], disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang)[38].

93. Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berperang) padahal mereka orang kaya[39]. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci hati mereka[40], sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).


[1] Yakni melapangkan rezeki-Nya kepada kami dan mengayakan kami.

[2] Seperti melakukan sedekah, menyambung tali silaturrahim, menjamu tamu, membantu pembela kebenaran dan mengerjakan amal saleh lainnya.

Faedah/catatan:

Sebagian ahli tafsir menyebutkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seseorang yang bernama Tsa’labah, ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar didoakan menjadi orang yang kaya. Ia berjanji kepada Allah, jika Allah menjadikannya kaya, maka ia akan bersedekah, menyambung tali silaturrahim, dan menolong penegak kebenaran, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya. Ia memiliki seekor kambing yang kemudian berkembang biak menjadi banyak yang membuatnya sibuk sampai tidak hadir shalat berjama’ah kecuali beberapa waktu saja, dan kemudian ia bertambah sibuk sampai tidak sempat shalat berjama’ah selain shalat Jum’at saja, dan bertambah sibuk lagi sampai ia tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencarinya dan mengirimkan orang untuk mengambil zakat darinya, namun Tsa’labah tidak memberikan. Ketika ayat ini urun, maka sebagian keluarganya menyampaikan ayat ini kepadanya, maka ia pun datang membawa zakatnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerimanya. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka ia datang membawa zakat kepada Abu Bakar, namun Abu Bakar tidak menerimanya, dan kemudian kepada Umar, namun ia juga tidak menerimanya. Kisah ini meskipun masyhur, namun sesungguhnya tidak shahih. Kisah ini didha’ifkan oleh para pakar ahli hadits, seperti Ibnu Hazm, Baihaqi, Qurthubi, Haitsami, Al ‘Iraqi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, Al Manawi dan lainnya. Mereka menerangkan bahwa dalam isnadnya terdapat Ali bin Zaid seorang yang dha’if, sebagaimana di antara perawinya ada yang bermana Ma’aan bin Rifaa’ah dan Al Qaasim bin Abdurrahman, di mana keduanya adalah dha’if (lihat ta’liq Abdurrahman bin Mu’allaa Al Luwaihiq terhadap kitab tafsir As Sa’diy pada tafsir ayat 75-78 dari surat At Taubah).

[3] Dan tidak memenuhi janjinya.

[4] Oleh karena itu, seorang mukmin harus berhati-hati, jangan sampai ketika ia berjanji kepada Allah, bahwa jika keinginannya dikabulkan Allah, maka ia akan melakukan ini dan itu, lalu ia tidak melakukannya, karena bisa saja Allah menanamkan kemunafikan dalam hatinya sebagaimana yang menimpa mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu tiga; apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Bukhari-Muslim)

Nah, orang tersebut melakukan yang demikian, ia berjanji namun mengingkari dan berbicara namun berdusta. Berdasarkan ayat ini, maka perbuatan-perbuatan tersebut meskipun sebagai nifak ‘amali namun bisa menjadi jembatan ke arah nifak akbar, yaitu nifa i’tiqadiy, nas’alullahs salaamah wal ‘aafiyah. Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah mengancam mereka yang memiliki sifat-sifat itu.

[5] Seperti bisikan mereka yang isinya mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, serta mencela agama Islam.

[6] Sehingga Dia akan membalas semua amal mereka meskipun tersembunyi bagi orang lain.

[7] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Ketika turun ayat sedekah, kami berusaha mengangkutkan barang (agar memperoleh imbalan untuk disedekahkan), lalu datang seseorang yang bersedekah dengan jumlah yang besar, maka mereka (orang-orang munafik) menimpali, “Orang ini riya’.” Kemudian datang seseorang yang bersedekah dengan satu sha’ (gantang), mereka pun menimpali, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadapnya.” Maka turunlah ayat, “Alladziina yalmizuuna…dst.”

Dalam celaan mereka terhadap kaum mukmin terdapat beberapa keburukan, di antaranya:

– Mencari-cari sikap orang mukmin agar dapat mencela mereka,

– Celaan mereka kepada orang mukmin karena iman yang ada dalam diri mereka merupakan kekufuran kepada Allah Ta’ala dan benci terhadap agama,

– Mencela sendiri merupakan perkara haram, bahkan dosa besar dalam urusan dunia, dan jika dalam perkara taat, maka lebih besar lagi dosanya.

– Orang yang taat kepada Allah dan melakukan amalan secara sukarela seharusnya dibantu dan didorong, bukan malah dilemahkan.

– Buruk sangka yang tinggi terhadap orang yang berbuat baik.

Oleh karena itulah, Allah akan menghina mereka sebagai balasan penghinaan mereka terhadap orang-orang mukmin, dan bagi mereka azab yang pedih.

[8] Sehingga permintaan ampun untuk mereka dan amal mereka tidak bermanfaat.

[9] Hal ini menunjukkan ketidakadaan iman dalam hati mereka dan lebih memilih kekufuran daripada keimanan. Perbuatan mereka ini mengandung banyak perkara dosa, dari mulai takhalluf (meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ridha di atas sikap itu dan bergembira.

[10] Mereka lebih suka istirahat yang sebentar daripada istirahat yang kekal

[11] Di dunia.

[12] Di akhirat.

[13] Berupa kekufuran, kemunafikan dan tidak mau taat kepada perintah Tuhan mereka.

[14] Disebutkan suatu golongan, karena di antara mereka ada yang bertobat dari kemunafikan dan menyesali sikap mereka meninggalkan berperang, maka sebagai hukuman bagi mereka, mereka tidak diizinkan ikut berperang.

[15] Setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari perang Tabuk dan kembali ke Madinah lalu bertemu segolongan orang-orang munafik yang tidak ikut perang, mereka meminta izin kepada Beliau untuk ikut berperang pada peperangan yang lain, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang oleh Allah untuk mengabulkan permintaan mereka, karena mereka sejak awal tidak mau berperang sebagai hukuman bagi mereka, di samping itu ikut sertanya mereka menimbulkan mafsadat.

[16] Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Abdullah bin Ubay wafat, maka anaknya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah gamismu agar aku kafankan dia dengannya. Salatkanlah dia dan mintakanlah ampunan untuknya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gamisnya dan bersabda, “Beritahukan saya (jika sudah selesai dikafankan), agar saya menyalatkannya.” Maka diberitahukanlah kepada Beliau. Ketika Beliau hendak menyalatkannya, maka Umar radhiyallahu ‘anhu menarik Beliau dan berkata, “Bukankah Allah melarang engkau menyalatkan orang-orang munafik?” Beliau bersabda, “Aku berada di antara dua pilihan. Dia berfirman, “(Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” Maka Beliau pun menyalatkannya, kemudian turunlah ayat kepada Beliau, “Wa laa tushalli ‘alaa ahadim minhum...dst.”

[17] Yakni jangan tertipu hanya karena mereka diberikan harta dan anak, yang demikian bukanlah karamah untuk mereka, bahkan penghinaan dari-Nya untuk mereka.

[18] Sehingga mereka bersusah payah untuk memperolehnya, takut jika apa yang mereka peroleh hilang, dan tidak merasa nikmat dengannya. Lebih dari itu, mereka senantiasa memperoleh kepenatan dan kesusahan. Harta dan anak mereka juga membuat mereka sibuk dan lupa dari mengingat Allah dan mengingat akhirat, sehingga mereka meninggalkan dunia dalam keadaan kafir, wal ‘iyaadz billah.

[19] Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah surat At Taubah ini.

[20] Maksudnya: bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dari kalangan orang-orang yang beruzur, seperti orang-orang yang lemah dan orang yang sakit menahun.

[21] Karena kemunafikan mereka dan karena apa yang ada dalam hati mereka berupa penyakit, keraguan, dan sifat pengecut sehingga membuat mereka senang meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[22] Yaitu wanita-wanita, anak-anak, orang-orang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang sudah tua.

[23] Mereka tidak memahami hal yang bermaslahat bagi mereka dan tidak ada lagi keinginan untuk mengerjakan perbuatan yang di sana terdapat kebaikan dan keberuntungan.

[24] Yakni, jika orang-orang munafik itu enggan berjihad, maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada mereka, dan Allah memiliki hamba-hamba pilihan-Nya yang siap mengemban tugas itu. Hal ini sama seperti ayat, “Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.” (Terj. Al An’aam: 89)

[25] Yakni kebaikan yang banyak; baik di dunia maupun di akhirat.

[26] Merekalah orang-orang yang memperoleh apa yang mereka cita-citakan.

[27] Oleh karena itu, rugilah bagi mereka yang tidak menginginkan seperti yang mereka inginkan.

[28] Orang-orang Arab baduwi yang kurang peduli terhadap agama datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mereka diberi izin untuk tidak berperang. Mereka tidak peduli dengan alasan yang mereka kemukakan karena sifat kasar mereka, serta sifat tidak punya malu dan karena iman mereka yang lemah. Kata-kata “mu’adzdzirun” juga bisa berarti orang-orang yang mempunyai alasan yang sesungguhnya tidak bisa dijadikan alasan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin mereka, dan kebiasaan Beliau adalah memberi izin mereka yang mengemukakan alasan.

[29] Yakni golongan yang lain dari kalangan kaum munafik Arab baduwi. Mereka duduk-duduk saja dan sama sekali tidak mengemukakan ‘uzur.

[30] Setelah Allah menyebutkan tentang orang-orang yang memiliki uzur, dan bahwa mereka terbagi menjadi dua bagian; ada orang yang tidak dapat diterima uzurnya dan ada pula yang diterima uzurnya menurut syara’, maka di ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan tentang mereka yang diterima uzurnya menurut syara’.

[31] Seperti orang yang lemah badan (sudah tua) dan lemah penglihatannya (buta), di mana mereka tidak memiliki kekuatan lagi untuk pergi berperang.

[32] Penyakit ini mencakup penyakit yang membuat orangnya tidak sanggup berangkat perang, seperti pincang, buta, demam, penyakit pada lambung (dzaatul janbi), lumpuh, dsb.

[33] Yakni mereka tidak memiliki bekal dan kendaraan yang dapat digunakan untuk berangkat, maka tidak ada dosa bagi mereka dengan syarat mereka berlaku tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu imannya benar, dalam hati mereka ada keinginan bahwa jika mereka mampu, maka mereka akan berjihad dan akan melakukan hal yang mampu mereka lakukan, seperti memberikan dorongan kepada yang lain untuk berjihad, tidak melemahkan dan tetap taat.

[34] Baik terhadap hak Allah maupun hak hamba-hamba Allah. Apabila seorang hamba telah berbuat baik sesuai kesanggupannya, maka gugurlah darinya sesuatu yang tidak disanggupinya. Syaikh As Sa’diy rahimahullah menerangkan, bahwa dari ayat ini dapat diambil kaidah, yaitu barang siapa berbuat ihsan terhadap orang lain, baik pada diri orang lain maupun hartanya, dsb. kemudian ada yang kurang atau rusak, maka dia tidak menanggungnya karena telah berbuat baik. Demikian juga dapat diambil kaidah, bahwa orang yang tidak baik, seperti mereka yang meremehkan (padahal mempunyai tugas memperhatikannya), maka ia wajib menanggung.

[35] Karena Dia Maha Pengampun dan Penyayang, Dia memaafkan orang-orang yang tidak sanggup, dan membalas mereka dengan balasan yang sama seperti orang yang mampu dan melakukan.

[36] Mereka adalah tujuh orang Anshar, ada yang mengatakan, bahwa mereka adalah Bani Muqarrin.

[37] Maksudnya mereka bersedih hati karena tidak mempunyai harta yang akan diinfakkan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang.

[38] Mereka memiliki niat baik dan berusaha melakukannya semampunya, namun niatnya tidak tercapai, maka ia dianggap seperti orang yang melakukannya secara sama.

[39] Lagi mampu berperang.

[40] Sehingga tidak mungkin dimasuki oleh kebaikan dan tidak mengetahui hal yang bermaslahat bagi mereka baik agama maupun dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *