Tafsir Al Qashash Ayat 14-28

By | Maret 30, 2013

Ayat 14-19: Musa ‘alaihis salam diberi ilham dan hikmah sebagai persiapan untuk menjadi rasul.

  وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤) وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلانِ هَذَا مِنْ شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِنْ شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ (١٥) قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (١٦) قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ (١٧) فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي اسْتَنْصَرَهُ بِالأمْسِ يَسْتَصْرِخُهُ قَالَ لَهُ مُوسَى إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُبِينٌ (١٨) فَلَمَّا أَنْ أَرَادَ أَنْ يَبْطِشَ بِالَّذِي هُوَ عَدُوٌّ لَهُمَا قَالَ يَا مُوسَى أَتُرِيدُ أَنْ تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا بِالأمْسِ إِنْ تُرِيدُ إِلا أَنْ تَكُونَ جَبَّارًا فِي الأرْضِ وَمَا تُرِيدُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْمُصْلِحِينَ (١٩

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 14-19

14. Dan setelah dia (Musa) dewasa[1] dan sempurna akalnya[2], Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan[3]. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat ihsan[4].

15. Dan dia (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah[5], maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki sedang berkelahi[6]; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (kaum Fir’aun). Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya[7], untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya[8], lalu Musa meninjunya[9], dan matilah musuhnya itu. Dia (Musa) berkata, “Ini[10] adalah perbuatan setan[11]. Sungguh, dia (setan) adalah musuh yang jelas menyesatkan[12].”

16. Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

17. Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, oleh karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku[13], maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa[14].”

18. Karena itu, dia (Musa) menjadi ketakutan berada di kota itu[15] sambil menunggu (akibat perbuatannya), tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya[16]. Musa berkata kepadanya[17], “Engkau sungguh, orang yang nyata-nyata sesat[18].”

19. [19]Maka ketika dia (Musa) hendak memukul dengan keras orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia berkata, “Wahai Musa! Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian[20].”

Ayat 20-22: Perginya Musa ‘alaihis salam ke Madyan untuk menyelamatkan diri dari penangkapan Fir’aun.

  وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلأ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ (٢٠) فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (٢١) وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَنْ يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ          (٢٢)

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 20-22

20. Dan seorang laki-laki[21] datang bergegas dari ujung kota seraya berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah (dari kota ini), sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu.”

21. Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau mengkapnya), dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu[22].”

22. Dan ketika dia menuju arah negeri Madyan[23] dia berdoa (lagi), “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.”

Ayat 23-28: Kuatnya fisik Musa ‘alaihis salam, amanahnya dan kesabarannya, dan bahwa malu merupakan sifat yang layak dimiliki kaum wanita.

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (٢٣) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (٢٤) فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (٢٥) قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ (٢٦) قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ  (٢٧) قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الأجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ (٢٨

Terjemah Surat Al Qashash Ayat 23-28

23. Dan ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan, dia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya)[24]. Dia (Musa) berkata, “Ada apa dengan kamu berdua[25]?” Kedua perempuan itu menjawab, “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya[26].”

24. Maka dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu[27], kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa[28], “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku[29].”

25. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu[30], dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika Musa mendatangi ayahnya[31] dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya)[32], dia berkata[33], “Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu[34].”

26. Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah ia sebagai pekerja (pada kita)[35], sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya[36].”

27. Dia berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja[37] padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu[38], dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau[39]. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik[40].”

28. Dia (Musa) berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan[41].”


[1] Yakni 30 atau 33 tahun.

[2] Yakni 40 tahun.

[3] Maksudnya, pemahaman agama.

[4] Yakni dalam beribadah kepada Allah dan kepada hamba-hamba-Nya.

[5] Maksudnya, pada waktu tengah hari, di waktu penduduk sedang istirahat.

[6] Sebab terjadi perkelahian adalah seperti yang diceritakan Qatadah, yaitu, “Orang Qibthi ingin memaksa seorang dari Bani Israil membawa kayu bakar ke dapur Fir’aun, namun ia menolaknya.” Menurut Sa’id bin Jubair, bahwa ia (orang Qibthi) tersebut adalah tukang masak di dapur Fir’aun.

[7] Karena Musa ‘alaihis salam telah dikenal termasuk Bani Israil.

[8] Maka Nabi Musa ‘alaihis salam menolongnya, dan menolong orang yang terzalimi adalah wajib dalam semua syariat.

[9] Beliau (Nabi Musa) ‘alaihis salam adalah seorang yang memiliki tenaga yang kuat.

[10] Yakni membunuh.

[11] Maksudnya, Musa menyesal atas kematian orang itu disebabkan pukulannya, karena dia bukanlah bermaksud untuk membunuhnya, tetapi semata-mata membela kaumnya, dan yang demikian merupakan hiasan dan was-was setan.

[12] Oleh karena itulah terjadi perbuatan itu disebabkan permusuhannya yang nyata dan keinginannya untuk menyesatkan manusia.

[13] Seperti diterima tobatnya dan diampuni serta diberikan berbagai nikmat.

[14] Beliau berjanji tidak akan menolong seorang pun di atas maksiat atau tidak akan menolong orang yang bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang diberikan menghendaki agar seorang hamba mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan.

[15] Yakni apakah keluarga Fir’aun tahu peristiwa itu atau tidak? Beliau takut, karena sudah diketahui, bahwa tidak ada yang berani berbuat seperti itu selain Musa yang berasal dari Bani Israil.

[16] Untuk menghadapi orang Qibthi yang lain.

[17] Yakni, mencelanya.

[18] Karena perbuatanmu yang sekarang dan kemarin.

[19] Selanjutnya, Nabi Musa ‘alaihis salam hendak memukul orang Qibthi itu, namun orang dari Bani Israil itu malah mengira, bahwa Musa bermaksud memukulnya ketika ia mendengar kata-kata Musa tersebut. Ia pun berkata untuk membela dirinya, “Wahai Musa! Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang?…dst.”

[20] Maka orang Qibthi yang berada di situ mendengarnya dan mengetahui bahwa orang yang melakukan pembunuhan kemarin adalah Musa, ia pun segera pergi memberitahukan Fir’aun sehingga Fir’aun marah besar dan hendak membunuh Musa.

[21] Ada yang mengatakan, bahwa dia adalah orang mukmin dari keluarga Fir’aun.

[22] Beliau telah bertobat dari dosa itu dan melakukannya karena marah dan tanpa maksud membunuhnya.

[23] Madyan adalah negeri Nabi Syu’aib, perjalanan ke sana dari Mesir membutuhkan waktu kurang lebih 8 hari. Madyan tidak berada di bawah kekuasaan Fir’aun.

[24] Karena mereka tidak mungkin bercampur baur dengan laki-laki yang sedang mengambilkan air minum untuk ternaknya dan karena bakhilnya mereka, sehingga setelah mereka selesai memberi minum hewan ternak mereka, maka mereka tutup kembali mulut sumur dengan batu yang besar.

[25] Yakni mengapa kamu tidak memberi minum ternakmu?

[26] Tidak kuat untuk memberi minum hewan ternaknya.

[27] Tanpa meminta upah, dan tidak ada niatnya selain mengharap keridhaan Allah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa para pengembala ketika selesai mendatangi sumber air, meletakkan di mulut sumur batu yang besar, lalu dua wanita itu datang memberi minum kambingnya dari sisa kambing yang lain.

‘Amr bin Maimun meriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Musa ‘alaihis salam ketika sampai di sumber air Madyan mendapatkan sekumpulan orang yang sedang memberi minum ternaknya. Umar melanjutkan ceritanya, “Setelah mereka selesai (memberi minum), maka mereka bersama-sama mengembalikan batu ke sumur (untuk menutupinya), dan tidak ada yang mampu mengangkatnya kecuali dengan jumlah sepuluh orang. Tiba-tiba Beliau melihat ada dua orang perempuan yang sedang menghambat ternaknya, maka Musa berkata, “Ada apa dengan kamu berdua?” Maka Keduanya menceritakan keadaannya, lalu Musa ‘alaihis salam mendatangi batu itu dan mengangkatnya (sendiri), dan tidak mengambil air kecuali satu ember sehingga kambing-kambing (mereka berdua) puas (meminumnya).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan isnadnya shahih).

[28] Permintaan Beliau ini adalah dengan ucapan dan keadaannya; lisan Beliau berdoa, dan keadaan Beliau menunjukkan rasa butuh.

[29] Ayat ini sekaligus mengisyaratkan kepada kita agar senantiasa meminta kepada Allah dalam semua kebutuhan kita, baik yang terkait dengan agama (seperti meminta hidayah dan ampunan), maupun yang terkait dengan dunia (seperti meminta makan, minum dan pakaian). Demikian pula menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala senang diminta oleh hamba-hamba-Nya.

[30] Hal ini menunjukkan kepribadiannya yang mulia dan akhlaknya yang terpuji, karena malu termasuk akhlak utama, terlebih bagi wanita. Ayat ini juga menunjukkan bahwa sikap Nabi Musa ‘alaihis salam memberi minum kepada keduanya tidaklah sebagai pekerja atau pelayan yang biasanya tidak memiliki rasa malu, bahkan Beliau terhormat. Oleh karena itulah, wanita ini ketika melihat akhlak Musa yang mulia, membuatnya merasa malu dengannya.

[31] Ahli tafsir berbeda pendapat tentang ayah perempuan itu siapakah dia? Ada yang berpendapat, bahwa ayah itu adalah Nabi Syu’aib inilah yang masyhur, dan di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Al Hasan Al Bashri dan Malik bin Anas, bahkan ada hadits yang menegaskan demikian, namun dalam isnadnya perlu dipertimbangkan. Ada pula yang berpendapat bahwa Nabi Syu’aib berumur panjang setelah kaumnya dibinasakan sehingga masih hidup di zaman Nabi Musa dan menikahkan puterinya dengan Musa.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwa ayah itu bernama Syu’aib, namun bukan Nabi kaum Madyan. Ada pula yang berpendapat bahwa bapak itu adalah putera saudara Syu’aib. Ada pula yang mengatakan, “Putra pamannya,” dan ada pula yang berpendapat, bahwa ia adalah salah seorang dari kaum Nabi Syu’aib yang beriman, ada pula yang berpendapat bahwa namanya “Yatsarun.” Wallahu a’lam (lihat Qashashul Anbiya’ oleh Ibnu Katsir). Syaikh As Sa’diy dalam tafsirnya lebih cenderung menguatkan, bahwa ayah kedua wanita itu bukanlah Nabi Syu’aib ‘alaihis salam.

[32] Sehingga Beliau sampai di tempat ini.

[33] Menenangkan rasa kekhawatirannya.

[34] Karena engkau telah berada di tempat yang mereka tidak memiliki kekuasaan terhadapnya.

[35] Untuk menggembala kambing dan memberi minumnya.

[36] Kedua sifat ini, “Kuat dan amanah” perlu diperhatikan ketika memilih seseorang sebagai karyawannya. Jika kedua-duanya berkumpul bersamaan, maka akan sempurnalah pekerjaan. Umar, Ibnu Abbas, Syuraih Al Qaadhiy, Abu Malik, Qatadah dan lain-lain mengatakan, “Ketika wanita itu mengatakan seperti itu, ayahnya bertanya kepadanya, “Dari mana kamu tahu demikian?” wanita itu menjawab, “Sesungguhnya dia mampu mengangkat batu besar yang tidak mungkin diangkat kecuali oleh sepuluh orang, juga pada saat aku datang (kemari) bersamanya, aku berjalan di depannya, namun ia mengatakan, “Berjalanlah di belakangku, jika hendak melewati jalan lain, lemparlah batu kecil ini agar aku tahu jalan.”

[37] Yakni mengembala kambingku.

[38] Dan tidak wajib kamu lakukan.

[39] Yakni, aku hanyalah membebanimu dengan pekerjaan yang ringan dan tidak berat.

[40] Keinginannya untuk memberikan kemudahan dan bermuamalah secara baik menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang yang saleh.

[41] Disebutkan dalam tafsir Al Jalaalain, bahwa selanjutnya ayah wanita itu memerintahkan puterinya memberikan tongkat kepada Musa untuk menyingkirkan binatang buas yang akan menerkam kambing-kambingnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *