Tafsir Ali Imran Ayat 185-194

By | Januari 14, 2013

Ayat 185-186: Kematian adalah tempat kembali semua makhluk, yang dijadikan patokan adalah sukses di akhirat, yaitu masuk surga

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ       (١٨٥) لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (١٨٦

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 185-186

185.[1] Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya[2].

186. Kamu pasti akan diuji dengan hartamu[3] dan dirimu[4]. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati[5] dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik[6].[7] Jika kamu bersabar dan bertakwa[8], maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.

Ayat 187-189: Menerangkan tentang pengambilan perjanjian dari Ahli Kitab, dan bagaimana mereka melempar janji itu ke belakang punggung mereka

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ (١٨٧)لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١٨٨) وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٨٩

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 187-189

187. Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya[9],” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka[10] dan menukarnya dengan harga yang murah[11]. Amat buruk tukaran yang mereka terima.

188.[12] Janganlah sekali-kali kamu mengira hahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan[13] dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan[14], jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari siksa. Mereka akan mendapat siksa yang pedih[15].

189. Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu[16].

Ayat 190-194: Sekilas atsar (bekas atau pengaruh) dari kekuasaan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan keagungan-Nya pada penciptaan langit dan bumi, serta perintah memperbanyak dzikrullah dan berdoa kepada-Nya, dan perintah merenungi ciptaan-Nya

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ        (١٩٢) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (١٩٣) رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (١٩٤

Terjemah Surat Ali Imran Ayat 190-194

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi[17], dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring[18], dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi[19] (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, Tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia[20]; Mahasuci Engkau[21], maka lindungilah kami dari azab neraka[22].

192. Ya Tuhan Kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya[23], dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim[24].

193. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman[25], (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan Kami[26], ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang berbakti[27].

194. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu[28]. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.”


[1] Dalam ayat yang mulia ini terdapat dorongan untuk bersikap zuhud terhadap dunia, di mana ia tidak kekal dan akan fana, dunia juga merupakan kesenangan yang memperdaya; nampak indah dan menyilaukan, namun sesungguhnya ia akan binasa dan berpindah ke negeri yang kekal, negeri di mana amal manusia akan diberi balasan secara sempurna.

[2] Kesenangan yang sebentar kemudian akan binasa.

[3] Dengan adanya nafkah wajib dan sunat, dengan adanya musibah atau dengan siap habis di jalan Allah .

[4] Dengan ibadah, bala’ (cobaan) atau beban-beban berat, seperti berjihad fii sabilillah, siap mendapatkan kelelahan, terbunuh, tertawan dan terluka, atau terkena penyakit yang menimpa dirinya atau menimpa orang yang dicintainya.

[5] Seperti celaan dan cercaan.

[6] Ada beberapa faedah mengapa diberitakan hal seperti ini, di antaranya:

– Hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala menghendaki demikian, untuk membedakan siapa orang mukmin yang sebenarnya dan siapa yang tidak.

– Allah menaqdirkan seperti itu karena keinginan-Nya memberikan kebaikan kepada mereka, berupa meninggikan derajat mereka, menghapuskan kesalahan, menambahkan keimanan, dan menyempurnakan keyakinan mereka. Hal itu, karena jika mereka diberitakan akan terjadi seperti itu dan kemudian terjadi, maka orang-orang mukmin akan menghadapinya dengan sikap yang menunjukkan keimanan mereka, seperti yang terjadi dalam perang Azab, di mana kaum mukmin mengatakan, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” Yang demikian tidaklah menambah kepada mereka selain keimanan dan ketundukan. (lihat surat Al Ahzab: 22).

– Allah mengabarkan demikian agar jiwa merasa siap dan mampu bersabar. Sehingga hal itu menjadi mudah dipikul, bebannya menjadi ringan dan mereka bisa menghadapinya dengan sikap sabar dan takwa.

[7] Abu Dawud meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya, bahwa Ka’ab bin Al Asyraf mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diberi dukungan oleh orang-orang kafir Quraisy. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya beraneka ragam; ada yang muslim, musyrik yang menyembah berhala dan ada orang-orang Yahudi. Mereka menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka Allah Azza wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya bersabar dan memaafkan. Tentang mereka turunlah ayat, “Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati…dst,“(lih. ayat di atas). Ketika Ka’ab bin Al Asyraf enggan berhenti menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz mengirimkan beberapa orang untuk membunuhnya, maka dikirimlah Muhammad bin Maslamah, dan disebutkan di sana kisah pembunuhannya. Setelah mereka berhasil membunuhnya, orang-orang Yahudi dan musyrik kaget, mereka pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Di malam hari kawan kami didatangi seseorang lalu dibunuh.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada mereka ucapan Ka’ab Al Asyraf, dan Beliau mengajak mereka untuk membuat tulisan berisi aturan yang harus dipenuhi. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat tulisan antara Beliau beserta kaum muslimin dengan mereka sebuah lembaran…dst.” (Al Mundziri berkata, “Kata-katanya ‘dari bapaknya’ perlu ditinjau ulang, karena bapaknya, yakni Abdullah bin Ka’ab bukan sahabat dan bukan salah satu dari tiga orang yang diterima tobatnya (ketika tidak berangkat jihad), dengan demikian hadits ini menjadi mursal. Namun masih mengandung kemungkinan bahwa bapaknya di sini adalah kakeknya, yaitu Ka’ab bin Malik sehingga hadits ini bersambung sanadnya, karena bisa saja Abdurrahman mendengar dari kakeknya, yaitu Ka’ab bin Malik, sedangkan Ka’ab adalah salah satu dari tiga orang yang diterima tobatnya, dan telah terjadi seperti ini di beberapa sanad, dan tidak pada satu tempat.”)

[8] Yakni jika kamu bersabar terhadap cobaan yang menimpa harta dan diri kamu atau terhadap gangguan orang-orang zalim, dan kamu bertakwa, yakni mengharapkan keridaan Allah dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

[9] Di antara keterangan yang disembunyikan itu ialah tentang kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[10] Yakni tidak mengamalkannya.

[11] Yakni dengan kesenangan dunia, seperti menginginkan kedudukannya diangkat atau memperoleh harta. Sehingga mereka berani menyembunyikan ilmu yang mereka ketahui.

[12] Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa beberapa orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar berperang, mereka tidak ikut dan merasa senang tidak berangkat meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang, mereka mengemukakan alasan dan mereka senang jika dipuji terhadap hal yang tidak mereka lakukan, maka turunlah ayat, “Laa tahsabannalladziina yafrahuuna…dst.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Alqamah bin Waqqas, bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya, “Pergilah wahai Raafi’ kepada Ibnu Abbas, katakan kepadanya, “Jika setiap orang senang dengan apa yang diberikan dan senang dipuji dalam hal yang tidak dilakukannya akan diazab, tentu kita semua akan diazab.” Ibnu Abbas berkata, “Apa hubungan kamu dengan ayat ini! Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajak orang-orang Yahudi dan menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, lalu mereka menyembunyikannya, dan mereka memberitakan dengan yang selainnya, lalu saya melihat mereka ingin dipuji terhadap berita yang mereka sampaikan dan mereka senang dengan sikap mereka menyembunyikan.” Lalu Ibnu Abbas membacakan ayat, “Wa idz akhadzallahu miitsaaqalladziina utul kitaab….” Sampai “Yafrahuuna bimaa atau wa yuhibbuuuna ay yuhmaduu bimaa lam yaf’aluu…” (Ali Imran: 187-188)

[13] Berupa menyesatkan manusia, atau mengerjakan perbuatan dan perkataan buruk.

[14] Padahal mereka tidak mengerjakan kebaikan dan tidak menegakkan kebenaran. Dengan demikian, mereka menggabung antara mengerjakan keburukan, senang terhadapnya dan suka dipuji terhadap sesuatu yang mereka tidak melakukannya.

[15] Termasuk ke dalam ayat ini adalah Ahli Kitab yang bergembira dengan ilmu yang ada pada mereka, namun mereka tidak mengikuti rasul dan menyangka bahwa sikap mereka benar. Demikian juga orang yang mengadakan bid’ah baik berupa ucapan maupun perbuatan, lalu ia bergembira dengannya dan mengajak manusia kepada perbuatan bid’ah itu serta menyangka bahwa diri mereka benar, sedangkan yang lain salah.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang senang mendapat pujian karena kebaikannya dan mengikuti yang hak, jika maksudnya bukan riya’ dan sum’ah, maka tidaklah tercela. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pernah berdoa, “Dan Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (Terj. Asy Syu’araa: 84)

[16] Dia bertindak terhadap semua yang ada di langit dan di bumi dengan kuasa-Nya yang sempurna, sehingga tidak ada satu pun makhluk yang dapat menolak ketetapan-Nya dan tidak ada satu pun makhluk yang dapat melemahkan-Nya. Di antara kekuasaan-Nya juga adalah dengan menyiksa orang-orang kafir dan menyelamatkan orang-orang mukmin.

[17] Demikian juga keajaiban-keajaiban yang ada pada keduanya, seperti besarnya, luasnya, teraturnya peredaran benda yang beredar dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan keagungan Allah, keagungan kerajaan-Nya dan menyeluruhnya kekuasaan-Nya. Tertib dan teraturnya ciptaan Allah, demikian juga rapi dan indahnya menunjukkan kebijaksanaan Allah dan tepat-Nya serta luas ilmu-Nya. Terlebih dengan manfaat bagi makhluk yang ada di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan keluasan rahmat-Nya, meratanya karunia dan kebaikan-Nya, dan semua itu menghendaki untuk disyukuri. Semua itu juga menunjukkan butuhnya makhluk kepada khaliqnya dan tidak pantas Penciptanya disekutukan.

Di dalam ayat ini terdapat anjuran untuk memikirkan alam semesta, memperhatikan ayat-ayat-Nya dan merenungkan ciptaan-Nya.

[18] Yakni dalam setiap keadaan. Menurut Ibnu Abbas, bahwa maksudnya mereka melakukan shalat sesuai kemampuan, yakni jika tidak sanggup berdiri, maka sambil duduk dst. Namun demikian, ayat ini mencakup semua dzikr lainnya dengan lisan maupun hati.

[19] Memikirkan kekuasaan Penciptanya atau memikirkan maksudnya. Ayat ini menunjukkan bawa berpikir merupakan ibadah dan termasuk sifat wali-wali Allah yang mengenal-Nya. Setelah mereka memikirkannya, mereka pun tahu bawa Allah tidak menciptakannya sia-sia.

[20] Bahkan di sana terdapat dalil sempurnanya kekuasaan-Mu.

[21] Yakni dari menciptakan sesuatu secara main-main.

[22] Termasuk juga di dalamnya meminta surga, karena ketika mereka meminta dilindungi dari neraka, maka secara langsung mereka juga meminta surga, akan tetapi karena besarnya rasa takut dalam hati mereka, maka mereka menyebut sesuatu yang paling merisaukan mereka.

[23] Karena ia mendapatkan kemurkaan dari Allah, malaikat-Nya, wali-wali-Nya dan mendapatkan aib yang tidak dapat lolos daripadanya.

[24] Yang menolong mereka dari azab. Ayat ini menunjukkan bahwa mereka masuk ke dalam neraka karena kezaliman mereka.

[25] Yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[26] Dalam ayat ini terdapat dalil bagi tawassul yang disyari’atkan, yaitu tawassul dengan iman atau amal salih yang dikerjakan.

[27] Dalam doa ini terdapat permintaan taufiq agar dapat menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan, di mana yang demikian dapat menjadikannya tergolong sebagai orang-orang yang berbakti dan beristiqamah di atasnya sampai wafat.

[28] Permintaan mereka agar diberikan janji Allah yang disampaikan oleh para rasul meskipun Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya adalah agar mereka digolongkan ke dalam orang-orang yang berhak menerimanya, karena mereka belum yakin termasuk orang-orang yang menerimanya, dan diulanginya kata “Ya Tuhan kami” berkali-kali menunjukkan sikap tadharru’ (perendahan diri yang dalam) mereka.

Janji Allah kepada Rasul-Nya di antaranya adalah mendapatkan kemenangan di dunia dan mendapatkan keridaan Allah dan surga-Nya di akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *